SiapakahAhlussunnah wal Jama'ah? Sabtu, 3 September 2016 | 02:08 WIB. Oleh Maulana Syekh Ali Jum'ah. Ahlussunnah Wal Jamā'ah (Aswaja) membedakan antara teks wahyu (Al-Qur'an dan Sunnah), penafsiran dan penerapannya, dalam upaya melakukan tahqīq manāth (memastikan kecocokan sebab hukum pada kejadian) dan takhrīj manāth (memahami sebab hukum).

Dalam kitab Muzilul Ilbas dikemukakan penjelasan Syaikh Muhammad Id Al Abbasi tentang Ahlussunnah dan Salafiy. Segala puji bagi Alloh. Shalawat dan salam untuk Rasul yang tidak ada Nabi sesudahnya. Begitu juga terhadap keluarganya, sahabatnya, dan tentaranya. Salafiyah adalah penisbatan kepada Shalafus Shalih. Mereka adalah orang-orang yang berada pada tiga abad pertama yang utama dan dikenal kebaikannya. Tidak ada keraguan bahwa mereka adalah kelompok yang mendapat pertolongan dan kemenangan, seperti dikabarkan Rasulullah shallallahu alaihi wasalam. Ahlussunnah wal Jamaah pada hakikatnya adalah kaum Salaf. Istilah Ahlussunnah wal Jamaah muncul pada saat pelaku bid’ah dan beragam firqah dari kalangan Mu’tazilah, Rafidhah, Khawarij, dan firqah-firqah lainnya yang tersebar. Para ulama kemudian memandang cukup menggunakan istilah Ahlussunnah wal Jamaah. Sayangnya orang-orang berikutnya yang telah keluar dari Manhaj Salaf menggunakannya sebagai tanda bagi diri mereka. Kelompok Asy’ariyah mengaku Ahlussunnah wal Jamaah. Demikian pula Al Maturidiyah, kalangan Tasawuf, dan bahkan pelaku bid’ah. Akhirnya nama ini tidak lagi memadai untuk membedakan antara pengikut kebenaran seperti telah ditunjukkan kalangan salafusshalih. Karenanya, banyak ulama dan peneliti yang memandang perlu menggunakan nama baru untuk menjelaskan pengertian Ahlussunnah wal Jamaah yang sebenarnya. Sebab, sebagian orang yang tidak termasuk dari kalangan Ahlussunnah wal Jamaah juga menggunakan nama ini. Maka jadilah Ahlussunnah wal Jamaah khusus untuk orang-orang yang mengikuti kaum Salaf. Demikianlah kondisi penamaan Ahlussunnah wal Jamaah jika dibandingkan penamaan Islam pada zaman Rasul shallallahu alaihi wasalam. Nama ini sebelumnya tidak pernah ada. Seseorang cukup dikatakan Muslim untuk membedakan pengikut kebenaran yang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasalam dengan benar dan jujur. Lalu mengapa para ulama mengambil istilah Ahlussunnah wal Jamaah dan tidak mencukupkan dengan istilah Islam? Sebagian pihak barangkali berkata, “Cukuplah penamaan Islam.” Kita jawab, “Apakah Anda mengakui langkah para ulama seperti Imam Ahmad dan yang lainnya dengan mengambil nama Ahlussunnah wal Jamaah sebagai nama bagi kalangan Muslim yang sebenarnya?” Mereka tentu akan berkata, “Betul.” Kita katakan, “Inilah alasannya. Ini adalah desakan baru sehingga dipergunakan nama Ahlussunnah wal Jamaah untuk membedakan Muslim yang sebenarnya. Hal ini pulalah yang membuat banyak ulama peneliti mengambil nama baru untuk membedakan Ahlussunnah wal Jamaah yang sebenarnya. Nama ini sesungguhnya mensyaratkan pemahaman Salaf terhadap Al Qur’an dan Assunnah. Sebagai bentuk penamaan yang membedakan secara sempurna – seperti Ahlussunnah wal Jamaah yang membedakan antara pengikut kebenaran dari kalangan umat Islam dengan yang lainnya sebagaimana halnya tidak ada perbedaan antara Ahlussunnah wal Jamaah dan kata Muslim’ – dapat disimpulkan bahwa Ahlussunnah wal Jamaah adalah kaum Muslimin yang sesungguhnya. Karena itu, tidak ada perbedaan antara Ahlussunnah wal Jamaah dan Salafiy, untuk membedakan mana Muslim yang hakiki dan mana yang tidak. Selain itu, terdapat larangan menggunakan kata Islam hanya untuk Ahlussunnah wal Jamaah dan Salafi saja. Sebab, pengertiannya yaitu orang-orang selain mereka adalah non-Muslim. Ini tidak benar. Kita tidak boleh mengkafirkan para pengikut firqah sekte-sekte secara umum seperti kaum Khawarij. Bahkan Imam Ali Radhiallahu anhu tidak mengkafirkan mereka. Ketika beliau ditanya, “Apakah mereka orang kafir?” Beliau menjawab, “Tidak. Mereka melarikan diri dari kekafiran. Mereka tetap saudara kita, tapi memberontak kepada kita.” Mereka tetap terjalin dalam ikatan Islam meskipun sangat lemah. Mereka tetap berada dalam kelompok umat Islam secara umum, tetapi mereka menyimpang dan sesat. Untuk membedakan mana Muslim yang hakiki, tidak sesat, dan tidak menyimpang – di antara orang-orang dari kalangan Rafidhah Syiah, Mu’tazilah, Jahmiyah, Jabariyah dan lainnya – maka dipergunakanlah nama ini. Karena itu, diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa suatu ketika beliau berada dalam sebuah majelis. Salah seorang yang hadir berkata, “Segala puji bagi Alloh yang menunjukkan kita kepada Islam.” Imam Ahmad lalu menambahkan, “Katakanlah, dan kepada Assunnah.” Maksud beliau, betul kita memuji Alloh bahwa kita termasuk dalam golongan umat Islam, tetapi ketika Islam ini dalam prakteknya mengambil banyak bentuk dalam berbagai firqah, maka katakanlah, “Dan kepada Assunnah.” Karena kenikmatan yang berhak atas banyak pujian, yaitu bahwa Alloh telah memberi petunjuk jalan selamat kepada seseorang dalam hal yang disengketakan banyak orang. Karena seorang Muslim tidak akan selamat hanya dengan memeluk Islam, sehingga ia termasuk golongan yang selamat Al Firqah An Najiyah. Sebab, dalam umat Islam terdapat 73 golongan. Jika ia termasuk salah satu dari 73 golongan tersebut, dan ia beramal dengan amalan yang besar dan banyak laksana gunung, maka hal itu tidak berguna untuknya, bahkan ia akan disiksa di Neraka. Seperti diketahui, semuanya berada dalam Neraka kecuali satu, maka nikmat yang sempurnya adalah jika ia memeluk Islam dan ke-Islamannya itu berada di jalan kelompok yang selamat. Ini merupakan realitas sejarah yang beragam dan mendorong banyak ulama untuk membedakan pengikut kebenaran dalam sejarah fase pertama, lalu fase kedua. Sebab, kalangan Asy’ariyah, Maturidiyah, Sufiyah dan ahli bid’ah lainnya juga mengambil nama Ahlussunnah wal Jamaah. Tidak satu pun dari mereka berkata, “Saya mengikat pemahaman saya sesuai dengan Al Qur’an dan Assunnah sesuai dengan pemahaman Salafusshalih.” Dengan demikian mereka telah menyingkap dan membedakan antara berbagai kelompok ini dengan adanya istilah “kelompok yang selamat” Al Firqah An Najiyah. Mereka mengambil pemahaman Salaf untuk membedakan pemahaman yang benar terhadap Islam, Al Qur’an dan Assunnah. Hal ini ditunjukkan oleh ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah shallallahualaihi wasallam. Inilah yang dianjurkan dan dinasihatkan untuk diikuti. Al Qur’an dan Assunnah menyuruh untuk mengikuti petunjuk kaum Salafusshalih, mengikuti pemahaman, dan konsisten mengikuti jalan mereka.

Dankarena pengertian tentang Ahlussunnah tidak dipahami dengan benar oleh kaum muslimin, maka muncullah berbagai aksi kekerasan dan terorisme. Beliau menegaskan bahwa "Ahlussunnah Wal Jamaah" dalam perspektif Al-Azhar adalah para pengikut Imam Abu Hasan al-Asyari, Imam Abu Manshur al-Maturidi dan Ahli Hadis.
Apa Perbedaaan Sunni dan Salafy? Para pembaca yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan Apa Perbedaan Sunni dan Salafy? Selamat membaca. Pertanyaan Bismillāh. Assalāmu’alaikum ustadz. Semoga Allāh selalu merahmati ustadz dan seluruh umat muslim. Ustadz apa perbedaan Sunni dan Salafy? Jazākallāhu khairan Ditanyakan oleh Santri Mahad BIAS Jawaban Waalaikum salam warahmatullah wabarokatuh Aamiin, terimakasih atas doanya dan semoga juga Allah senantiasa memberikan kebahagian kepada kita semua. Tidak ada perbedaan antara sunni dengan salafy bila dilihat dari asal kata dua kalimat tersebut dan dari prinsip dasar beragama dari apa yang diajarkan oleh masing-masing. Perhatikanlah beberapa hadits berikut yang menyebutkan tentang golongan yang selamat, ahlussunnah wal jamaah dan penafsiran makna yang telah dijelaskan di dalamnya. Semua menunjukkan, bahwa kata sunni ahlussunnah wal jamaah menunjukkan kepada kuatnya berpegang teguhnya mereka terhadap ajaran Rasulullah ﷺ, tanpa harus melenceng dari apa yang telah diajarkan, sehingga mereka disebut dan diberikan label ahlun pengikut atau pemilik. Karenanya Rasulullah ﷺ menafsirkan golongan yang selamat dengan penafsiran ,” كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً ، قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي “Semuanya masuk ke dalam neraka. kecuali satu golongan.” Para sahabat bertanya, “Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mereka adalah golongan yang berjalan di atas jalan ditempuh oleh aku dan para sahabatku.”Perbedaan antara Sunni dan Salafy Jelas pemahaman dari kalimat ahlussunnah adalah para pengikut sunnah Rasulullah maksudnya adalah golongan yang berjalan di atas petunjuk Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya. Dan bila melihat dari kata salaf yang artinya terdahulu, adalah jalan yang mencoba mengikuti apa yang telah dijalankan dan diajarkan oleh orang terdahulu yang jauh lebih paham, lebih selamat yaitu jalannya ahlussunnah Rasulullah, para sahabat dan orang orang yang mengikutinya. Kalau kita memperhatikan dalil-dalil syar’i, istilah “al-jama’ah” itu kembali kepada dua makna Al-jama’ah dalam makna “bersatu karena berpegang teguh dengan kebenaran”. Inilah makna al-jama’ah dalam istilah “ahlus sunnah wal jama’ah”. Yang dimaksud dengan “kebenaran” itu adalah mengikuti Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan juga mengikuti kesepakatan ijma’ para sahabat radhiyallahu anhum. Inilah makna al-jama’ah yang diisyaratkan dalam hadits di atas, yaitu bersatu dalam kebenaran. Artinya, al-jama’ah adalah sifat orang-orang yang berpegang teguh dengan kebenaran, yaitu ijma’ salaf. Dengan kata lain, al-jama’ah itu tidak identik dengan kelompok, organisasi, yayasan, atau partai tertentu. Karena al-jama’ah itu adalah sifat, siapa saja yang bersifat dengan al-jama’ah, maka dia adalah al-jama’ah. Dari situ, maka kita mengatakan tidak ada perbedaan antara salaf, ahlussunnah atau bahkan islam itu sendiri…bila kebenaran islam dicoba untuk dicari bukan ego untuk mengedepankan tradisi yang tidak pernah diajarkan oleh agama ini. Hanya saja kemudian telah dibelokkan kepada sifat dan pemahaman tertentu yang tidak menentu sesuai dengan kemauan dan kebiasaannya masing masing yang ketika dikaitkan dengan kelompok dan individu tertentu. Karenanya, siapa yang benar dalam pengakuannya mengikuti ushul/prinsip pokok dari apa yang diajarkan maka tidak ada perbedaan dengan itu semua. Maka tinggal bukti yang menyatakan, siapakah mereka yang mengaku sebenar-benarnya sunni atau ahlussunnah wal jamaah? Apakah mereka yang banyak melenceng dari apa yang telah diajarkan oleh Nabi dan sahabatnya apakah yang benar benar mencoba ingin mennegakkan ajaran yang sesuai dengan risalah nabinya? Semua butuh bukti dengan apa yang dilakukan bukan dengan apa yang disuarakan hanya dengan lisan. Hendaknya masing masing mencoba mengaca untuk terus mewujudkan apa yang telah di wasiatkan oleh nabi kita yang sama, nabi Muhammad sallahu alaihi wasallam. Berikut beberapa dasar yang perlu diperhatikan untuk mencoba menyadarkan dan menyatukan apa yang masing masing diprasangkakan dan diaku-akukan. Semoga Allah berikan hidayah kepada kita semua untuk selalu bersatu dalam kebenaran mengikuti jalan yang benar, jalan yang telah diwasiatkan oleh Rasulullah sallahu alaihi wasallam yaitu jalan salaf, jalan ahlussunnah wal jamaah. Dalam riwayat At-Tirmidzi, dari Abdullah bin Amr radhiyallahu anhu, beliau berkata, قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أُمَّتِي مَا أَتَى عَلَى بني إسرائيل حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ، حَتَّى إِنْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلَانِيَةً لَكَانَ فِي أُمَّتِي مَنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ، وَإِنَّ بني إسرائيل تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً ، قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي “Pasti akan datang kepada umatku, sesuatu yang telah datang pada bani Israil seperti sejajarnya sandal dengan sandal. Sehingga apabila di antara mereka bani Israil ada orang yang menggauli ibu kandungnya sendiri secara terang-terangan, maka pasti di antara umatku ada yang melakukan demikian. Sesungguhnya bani Israil terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk ke dalam neraka. kecuali satu golongan.” Para sahabat bertanya, “Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mereka adalah golongan yang berjalan di atas jalan ditempuh oleh aku dan para sahabatku.” HR. Tirmidzi no. 2641, dinilai hasan oleh Al-Albani Hal ini sebagaimana kata sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, إنما الجماعة ما وافق الحق وإن كنت وحدك “Al-jama’ah itu hanyalah yang mencocoki kebenaran, meskipun Engkau seorang diri.” Al-hawaadits wal bida’, karya Abu Syaamah, hal. 22 Allah Ta’ala berfirman, وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Dan bahwa yang kami perintahkan ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” QS. Al-An’am [6] 153 Wallahu a`lam . Dijawab dengan ringkas oleh Ustadz Mu’tashim, Lc. MA. حفظه الله Selasa, 13 Shafar 1443 H/ 21 September 2021 M Ustadz Mu’tashim Lc., Dewan konsultasi Bimbingan Islam BIAS, alumus Universitas Islam Madinah kuliah Syariah dan MEDIU Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Mu’tashim Lc., حفظه الله klik disini
Menariknya penganut aliran Wahabi ini tidak mau menyebut dan tidak mau disebut dirinya Wahabi. Mereka lebih senang disebut: Salafi, Salafiyah, Anshar as Sunnah, Anshar at Tauhid, Jama'ah at Takfir Wal Hijrah, Jam'iyyah an Nur Wal Iman, Al Jama'ah al Islamiyyah, dan lain-lain. Walaupun sebagian besar pengikut Wahabi di Indonesia tidak mau
APA PERBEDAAN dari AHLUS SUNNAH WAL’JAMAAH , SALAFY, ASWAJA dan WAHABISM? Bismillah, Ahlus sunnah adalah mereka yang setidaknya faham dan mengamalkan beberapa nash ini Allah Azza wa jall berfirman ”Berpeganglah kamu semua pada tali Allah Al Qur’an dan Sunnah, dan janganlah kamu berpecah belah” Al Qur’an. Surat Ali Imron 103 “ Hai orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya dan Ulil Amri diantara kamu, Kemudian jika kamu berlainan/berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan ia kepada Kitabullah Al Qur’an dan Rasul Sunnahnya jika kalian benar2 beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” Al Qur’an. Surat An Nisa’ 59 “Katakanlah , “Inilah jalan ku, aku dan orang-orang yang mengikuti ku menyeru kalian kepada Allah Ta`ala dengan ilmu yang nyata .Maha Suci Allah dan aku tidak termasuk oarng-orang yang musyrik” QS. Yusuf 108 “Wahai orang2 yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara keseluruhan Total, dan jangan kamu ikuti langkah2 syetan, sesungguhnya ia syetan adalah musuhmu yang nyata” QS. Al Baqoroh ayat 208 Dari Mu’awiah Radhiallahu anhu, ia berkata Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam berdiri diantara kami lalu bersabda “Ketahuilah bahwa umat sebelum kalian dari golongan ahli kitab berpecah-pecah menjadi 72 firqoh/golongan, dan sesungguhnya umatku sampai dengan hari kiamat nanti akan terpecah menjadi 73 firqoh/golongan, dimana dari 73 golongan ini, yang 72 golongan terancam neraka dan hanya satu golongan yang menjadi ahli surga. Ketika para sahabat bertanya kepada Nabi Shallallahu alaihi Wassalam tentang siapa golongan yang hanya satu itu, Rasulullah menjawab “Al jama’ah, yang aku dan para sahabatku ada diatasnya/berpijak pada sunnahku”. SHAHIH, Riwayat Ahmad, Abu Daud, dishahihkan oleh Al Albani Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda ”Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu amalan dalam urusan agama yang bukan datang dari kami Allah dan Rasul-Nya, maka tertolaklah amalnya itu”. SHAHIH, riwayat Muslim Juz 5,133 Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda “Amma ba’du! Maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah Al-Qur’an dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallaahu alaihi wa sallam. Dan sejelek-jelek urusan adalah yang baru / yang diada-adakan Muhdast dan setiap yang muhdast adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka” SHAHIH, riwayat Muslim Juz 3, 11, riwayat Ahmad Juz 3, 310, riwayat Ibnu Majah no 45 Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda “Sesungguhnya Syetan telah berputus asa untuk disembah dinegri kalian, tetapi ia senang ditaati menyangkut hal selain itu diantara amal perbuatan yang kalian anggap sepele, maka berhati-hatilah. Sesungguhnya aku telah meninggalkan/mewariskan pada kalian apa2 yang jika kalian berpegang teguh padanya, maka kalian tidak akan sesat selamanya, yaitu kitab Allah dan Sunnah NabiNya” HASAN, riwayat Bukhari, Muslim, Al Hakim, Adz zahabi, Albani Nabi shallallahu alaihi wa sallam membuat garis dgn tangannya, kemudian bersabda, “Inilah jalan Allah yg lurus”, lalu beliau membuat garis2 di kanan dan kirinya kmudian bersabda,”Inilah jalan2 yg sesat, tak satupun jalan2 itu kecuali didalamnya terdapat syaitan yg menyeru kepadanya”.[SHAHIH. HR. Ahmad 1/435, ad Darimi 1/72, al Hakim 2/261, al Lalika’i 1/90. Dishahihkan al Albani dlm Dzilalul Jannah]. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, patuh dan taat walaupun dipimpin budak Habasyi, karena siapa yang masih hidup dari kalian maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah pada Khulafaur Rasyidin yang memberi petunjuk berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Dan waspadalah terhadap perkara-perkara yang baru yang diada-adakan kepada hal-hal yang baru itu adalah kebid’ahan dan setiap kebid’ahan adalah kesesatan”. [SHAHIH. Dawud 4608, At-Tirmidziy 2676 dan Ibnu Majah 44,43,Al-Hakim 1/97] “Aku tinggalkan kalian di atas jalan yang putih, malamnya bagaikan siangnya, tidak ada seorang pun sepeninggalku yang berpaling darinya melainkan ia akan binasa….”[SHAHIH. HR Ibnu Majah 1/16 no. 43 dan lain-lain, dari hadits Al-Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu. Ini lafazh dalam Sunan Ibnu Majah. Lihat juga As-Silsilah Ash-Shahihah 2/610 no. 937] ☀ ☀☀ SALAFY Inilah dialog antara Syaikh Al-Albani rahimahullah dgn ustadz Abdul Halim Abu Syuqah, pengarang kitab “Tahrirul Mar’ah Fi Ashri Ar-Risalah”. Berkata Asy-Syaikh Albani “Kalau engkau ditanya apa madzhab kamu, apa yang akan kamu katakan ?” Dia menjawab “Muslim” Berkata Asy-Syaikh Ini tidak cukup ! Dia berkata “Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menamakan kita kaum muslimin sejak dahulu, lalu dia membacakan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Dia Allah telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu” [Al-Hajj 78] Berkata Asy-Syaikh “Ini adalah jawaban yang benar seandainya kita berada di zaman awal sebelum berkembangnya kelompok-kelompok sesat, dan seandainya kita tanyakan -sekarang- setiap muslim dari kelompok-kelompok yang kita berselisih dengannya secara mendasar dalam aqidah, maka tidak akan berbeda jawabannya dari jawaban ini, semuanya mengatakan baik orang Syi’ah Rafidah, Khawarij, Druze, Nushairiy Al-Alawiy Saya Muslim, kalau begitu jawaban itu belum cukup untuk saat-saat ini”. Dia berkata “Kalau begitu saya katakan Saya muslim yang berada di atas Al-Kitab dan As-Sunnah”. Berkata Asy-Syaikh “Ini juga tidak cukup”. Dia berkata “Kenapa ?” Berkata Asy-Syaikh “Apakah kamu dapatkan seorang dari mereka yang telah kita jadikan contoh mengatakan Saya muslim dan saya tidak berada di atas Al-Kitab dan As-Sunnah … maka siapakah yang mengatakan Saya tidak berada di atas Al-Kitab dan As-Sunnah”. Kemudian Syaikh mulai menjelaskan arti penting tambahan yang kami telah tetapkan yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman As-Salaf Ash-Shalih. Dia berkata “Kalau begitu saya seorang muslim yang berada di atas Al-Kitab dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman As-Salaf Ash-Shalih”. Berkata Asy-Syaikh “Jika seorang bertanya kepada kamu tentang madzhab kamu, apakah kamu akan menjawab demikian ?” Dia berkata “Ya”. Berkata Asy-Syaikh “Bagaimana pendapat kamu jika kita meringkasnya secara bahasa, karena sebaik-baiknya perkataan adalah yang paling ringkas tetapi mewakili maksudnya, maka kita katakan Salafiy”. Dia berkata “Saya mungkin berbasa-basi kepadamu dan saya katakan Ya, akan tetapi keyakinan saya tetap seperti tadi, karena pertama yang terbesit pada pikiran seseorang ketika mendengar kamu adalah Salafiy adalah hal-hal yang banyak dari kebiasaan berupa sikap-sikap keras yang mengantar kepada kebengisan yang terkadang ada pada Salafiyin orang-orang Salafiy”. Berkata Asy-Syaikh “Anggaplah ucapanmu itu benar. Jika kamu katakan Saya muslim, tidak akan terpahami kamu seorang Syi’ah Rafidah atau Druziyah atau Ismailiyah..?” Dia berkata “Mungkin saja akan tetapi saya telah mengikuti ayat yang mulia “Dia Allah telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu” [Al-Hajj 78]” Berkata Asy-Syaikh “Tidak wahai saudaraku ! sesungguhnya kamu tidak mengikuti ayat tersebut, karena ayat tersebut bermakna Islam yang benar, sepatutnyalah diajak bicara orang-orang sesuai dengan akalnya … apakah ada seorang yang memahami dari kamu bahwa kamu muslim dengan makna yang ada di ayat tersebut ? Adapun hal-hal yang jelek yang telah kamu sebutkan tadi adakalanya benar atau tidak benar, karena perkataan kamu keras, adakalanya pada sebagian pribadi-pribadi saja dan bukan seperti manhaj ilmiyah yang diyakini, maka tinggalkanlah pribadi-pribadi tersebut. karena kita berbicara tentang manhaj dan karena kalau kita katakan Syi’iy, Driziy, Khorijiy, Shufi atau Mu’taziliy akan masuk juga kepada hal-hal buruk yang telah kamu sebutkan. Kalau begitu hal itu diluar pembahasan kita, karena kita membahas tentang nama yang menunjukkan madzhab yang dipegangi oleh seorang manusia”. Kemudian Syaikh berkata “Bukankah parasahabat semuanya muslim ?” Dia menjawab “Tentu.” Berkata Asy-Syaikh “Akan tetapi ada dari mereka yang mencuri dan berzina, dan ini tidak diperbolehkan seorangpun mengatakan Saya bukan seorang muslim, akan tetapi dia masih seorang muslim yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya seperti satu manhaj, akan tetapi dia terkadang menyelisihi manhajnya, karena dia tidak maksum. Oleh karena itu, kita -semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkati kamu- berbicara tentang kata yang menunjukkan aqidah, pemikiran dan pedoman kita dalam kehidupan dalam hal yang berhubungan dengan perkara agama yang kita beribadah denganya. Adapun fulan keras atau sebaliknya lemah adalah perkara lain”. Kemudian berkata Asy-Syaikh “Saya ingin kamu renungkan kata yang singkat ini sampai kamu tidak tetap terus berada pada kata muslim sedangkan kamu tahu tidak ada seorangpun yang memahami darimu apa yang kamu inginkan darinya, maka kalau begitu berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kemampuan akal mereka”. Barakallahu laka fi Talbiyika. Disalin dari Kitab Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy, edisi Indonesia Mengapa Memilih Manhaj Salaf Studi Kritis Solusi Problematika Umat oleh Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied Al-Hilaly ☀ ☀☀ ASY’ARIYAH mazhab Asy’ari atau ASWAJA [ Tidak termasuk Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ] Ada TIGA FASE keyakinan yang al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari lalui, yaitu »̶>❥Fase pertama bersama Mu’tazilah, »̶>❥Fase kedua bersama Kullabiyah, »̶>❥Dan TERAKHIR bersama Salafiyah Ahlus Sunnah wal Jamaah setelah mendapatkan hidayah dari ar-Rahman. ADAPUN, Asy’ariyah / Mazhab Asy’ari / ASWAJA, tiada lain adalah KELANJUTAN DARI mazhab KULLABIYAH, yang TELAH DITINGGALKAN oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari sendiri. Bahkan, dengan tegas Beliau menyatakan bahwa beliau berada di atas jalan Rasulullah dan as-salafush shalih, sejalan dengan al-Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal , dan menyelisihi siapa saja yang berseberangan dengan beliau [7]. Rujukan Napak Tilas Perjalanan Hidup al-Imam Abul Hasan Al-asy’ari ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi, Lc. ♧♧♧♧♧♧ Ulama yang menyatakan bahwa Asy’ariyah ASWAJA_pen, BUKAN AHLUS SUNNAH 1. Al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullahu Ibnu Khuzaimah rahimahullahu ditanya oleh Abu Ali Ats-Tsaqafi “Apa yang kau ingkari, wahai ustadz, dari madzhab kami supaya kami bisa rujuk darinya?” Ibnu Khuzaimah berkata “Karena kalian condong kepada pemahaman Kullabiyah. Ahmad bin Hanbal termasuk orang yang paling keras terhadap Abdullah bin Said bin Kullab dan teman-temannya, seperti Harits serta lainnya.” Perlu diketahui bahwa Kullabiyah adalah masyayikh guru/pembesar Asy’ariyah. Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata “Kullabiyah adalah guru-guru orang Asy’ariyah….”Kitab Istiqamah 2. Ibnu Qudamah rahimahullahu Beliau rahimahullahu berkata “Kami tidak mengetahui ada kelompok ahlul bid’ah yang menyembunyikan pemikiran-pemikirannya dan tidak berani menampakkannya, selain zanadiqah kaum zindiq, orang-orang yang menyembunyikan kekafiran dan menampakkan keimanan, red. dan Asy’ariyah.” 3. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin rahimahullahu Beliau berkata “Asya’irah dan Maturidiyah serta yang semisal mereka, bukanlah Ahlus Sunnah wal Jamaah.” 4. Syaikh Shalih Al-Fauzan pernah ditanya “Apakah Asy’ariyah dan Maturidiyah termasuk Ahlus Sunnah?” Beliau menjawab “Mereka tidak teranggap sebagai Ahlus Sunnah. Tidak ada seorang pun yang memasukkan mereka ke dalam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mereka memang menamakan diri mereka termasuk Ahlus Sunnah, namun hakikatnya mereka bukanlah Ahlus Sunnah.” Lihat Takidat Musallamat Salafiyah hal. 19-30 Rujukan Sufi Adalah Pengikut Firqah Asy’ariah Ditulis Oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Abdurrahman Mubarak ♧♧♧♧♧♧ Dalam daurah Syar’iyyah Fi Masail Aqa’idiyyah Wal Manhajiyyah di Surabaya, dua tahun yang lalu, Syaikh Salim ditanya Apakah Al Asy’ariyyah termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama’ah? Beliau menjawab dengan tegas “Al Asy’ariyyah tidak termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.” Dinukil dr [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VNina FemI/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296] Footnote [7] Perlu diketahui, mazhab Asy’ari atau ASWAJA atau Kullabiyah, semuanya berseberangan dengan prinsip yang diyakini oleh al-Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal . Dengan demikian, berseberangan pula dengan prinsip yang diyakini oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari . Tajuddin as-Subki —seorang tokoh mazhab Syafi’i—berkata, “Abul Hasan al-Asy’ari adalah tokoh besar Ahlus Sunnah setelah al-Imam Ahmad bin Hanbal. Akidah beliau adalah akidah al-Imam Ahmad , tiada keraguan dan kebimbangan padanya. Inilah yang ditegaskan berkali-kali oleh Abul Hasan al-Asy’ari dalam beberapa karya tulis beliau.” Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra 4/236 ====== Catatan 1> Apa itu madzab Kullabiyah ? lihat di 2> Apa itu Mu’tazilah ? lihat di »̶˚♧♧°̶ Lihat ☀ ☀☀ Adapun Wahabi adalah sebutan “tuduhan” bagi mereka2 berpegang teguh pada as sunnah dan memerangi syirik sebagaimana dakwah yang di canangkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang mana dakwah beliau adalah memurnikan Islam yang “Anti Syirik” dan “Anti Bid’ah”. Sebutan tuduhan “wahabi” ini di prakarsai oleh musuh2 dakwah tauhid yang mana mereka adalah “Ahlul bid’ah” dan”Ahlusy Syirik” SIAPA PENCETUS PERTAMA ISTILAH WAHHABI? Suatu hal yang jelas bahwa Inggris merupakan negara barat pertama yang cukup interest menggelari dakwah ini dengan “Wahhabisme”, alasannya karena dakwah ini mencapai wilayah koloni Inggris yang paling berharga, yaitu India. Banyak ulamâ` di India yang memeluk dan menyokong dakwah Imâm Ibn Abdil Wahhâb. Juga, Inggris menyaksikan bahwa dakwah ini tumbuh subur berkembang dimana para pengikutnya telah mencakup sekelompok ulamâ` ternama di penjuru dunia Islâm. Selama masa itu, Inggris juga mengasuh sekte Qâdhiyânî dalam rangka untuk mengganti mainstream ideologi Islam. [Lihat Dr. Muhammâd ibn Sa’d asy-Syuwai’ir, Tashhîh Khathâ’ Târîkhî Haula`l Wahhâbiyyah, Riyâdh Dârul Habîb 2000; hal. 55]. Mereka berhasrat untuk memperluas wilayah kekuasaan mereka di India dengan mengandalkan sebuah sekte ciptaan mereka sendiri, Qâdhiyânî, yaitu sekte yang diciptakan, diasuh dan dilindungi oleh Inggris. Sekte yang tidak menyeru jihad untuk mengusir kolonial Inggris yang berdiam di India. Oleh karena itulah, ketika dakwah Imâm Ibn Abdil Wahhâb mulai menyebar di India, dan dengannya datanglah slogan jihad melawan penjajah asing, Inggris menjadi semakin resah. Mereka pun menggelari dakwah ini dan para pengikutnya sebagai Wahhâbi’ dalam rangka untuk mengecilkan hati kaum muslimin di India yang ingin turut bergabung dengannya, dengan harapan perlawanan terhadap penjajah Inggris tidak akan menguat kembali.* Banyak Ulamâ` yang mendukung dakwah ini ditindas, beberapa dibunuh dan lainnya dipenjara.** Catatan * Hunter dalam bukunya yang berjudul “The Indian Musalmans” mencatat bahwa selama pemberontakan orang India tahun 1867, Inggris paling menakuti kebangkitan muslim Wahhâbi’ yang tengah bangkit menentang Inggris. Hunter menyatakan di dalam bukunya bahwa “There is no fear to the British in India except from the Wahhabis, for they are causing disturbances againts them, and agitating the people under the name of jihaad to throw away the yoke of disobedience to the British and their authority.” [“Tidak ada ketakutan bagi Inggris di India melainkan terhadap kaum Wahhâbi, karena merekalah yang menyebabkan kerusuhan dalam rangka menentang Inggris dan mengagitasi membangkitkan semangat umat dengan atas nama jihâd untuk memusnahkan penindasan akibat dari ketidaktundukan kepada Inggris dan kekuasaan mereka.”] Lihat Hunter, “The Indian Musalmans”, di London Trűbner and Co., 1871; Calcuta Comrade Publishers, 1945, 2nd edn.; New Delhi Rupa & Co., 2002 Reprint ** Di Bengal selama masa ini, banyak kaum muslimin termasuk tua, muda dan para wanita, semuanya disebut dengan “Wahhâbi” dan dianggap sebagai “pemberontak” yang melawan Inggris kemudian digantung pada tahun 1863-1864. Mereka yang dipenjarakan di Pulau Andaman dan disiksa adalah para ulama dari komunitas Salafî-Ahlul Hadîts, seperti Syaikh Ja’far Tsanisârî, Syaikh Yahyâ Alî 1828-1868, Syaikh Ahmad Abdullâh 1808-1881, Syaikh Nadzîr Husain ad-Dihlawî dan masih banyak lagi lainnya. Muhammad Ja’far, Târikhul Ajîb dan Târikhul Ajîb – History of Port Blair Nawalkshore Press, 1892, 2nd edition. Suatu hal yang perlu dicatat, di dalam surat-surat dan laporan-laporan yang dikirimkan kepada ayah tirinya dan pemerintahan Utsmâniyyah Ottomans, Ibrâhîm Basyâ Pasha, anak angkat Muhammad Alî Basyâ Pasha, juga menggunakan istilah Wahhâbi, Khowârij dan Bid’ah Heretics’ untuk menggambarkan dakwah Muhammad Ibn Abdul Wahhâb dan Negara Saudî [Lihat ibid, hal. 70]. Hal ini, tentu saja, terjadi sebelum Ibrâhîm Basyâ memberontak dan menyerang khilâfah Utsmâniyyah dan hampir saja menghancurkannya di dalam proses pemberontakannya. Dr. Nâshir Tuwaim mengatakan “Kaum Orientalis terdahulu, menggunakan istilah Wahhâbiyyah, Wahhâbî, Wahhâbis’ di dalam artikel-artikel dan buku-buku mereka untuk menyandarkan menisbatkan istilah ini kepada gerakan dan pengikut Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhâb. Beberapa diantara mereka bahkan memperluasnya dengan memasukkan istilah ini sebagai judul buku mereka, semisal Burckhardt, Brydges dan Cooper, atau sebagai judul artikel mereka, seperti Wilfred Blunt, Margoliouth, Samuel Zwemer, Thomas Patrick Hughes, Samalley dan George Rentz. Mereka melakukan hal ini walaupun sebagian dari mereka mengakui bahwa musuh-musuh dakwah ini menggunakan istilah ini untuk menggambarkannya, padahal para pengikut Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhâb tidak menyandarkan diri mereka kepada istilah ini. * Margoliouth sebagai contohnya, ia mengaku bahwa istilah Wahhâbiyyah” digunakan oleh musuh-musuh dakwah selama masa hidup pendiri’-nya, kemudian digunakan secara bebas oleh orang-orang Eropa. Walau demikian, ia menyatakan bahwa istilah ini tidak digunakan oleh para pengikut dakwah ini di Jazîrah Arab. Bahkan, mereka menyebut diri mereka sendiri sebagai “Muwahhidŭn”. [ Margoliouth, Wahabiya, hal. 618, 108. Artikel karya Margoliouth yang berjudul Wahhabis’ ini juga dapat ditemukan di dalam The First Encyclopaedia of Islam, 1913-1936 New York Brill, 1987 Reprint , karya Houtsma, Arnold, R. Basset, R. Hartman, Wensinck, Gibb, W. Heffening dan E. Lêvi-Provençal ed dan The Shorter Encyclopaedia of Islam Leiden and London Brill and Luzac & Co., 1960, hal. 619 karya Gibb, Kramers dan E. Lêvi-Provençal ed. Artikel ini juga dicetak ulang dalam o Reading, UK Ithaca Press, 1974 o Leiden Brill, 1997 o Dan cetakan pertama, Leiden and London Bril and Luzac & Co., dan New York Cornel University Press, 1953.] * Thomas Patrick Hughes menggambarkan “Wahhâbiyyah” sebagai gerakan reformis Islâm yang didirikan oleh Muhammad Ibn Abdul Wahhâb, yang menyatakan bahwa musuh-musuh mereka tidak mau menyebut mereka sebagai “Muhammadiyyah” Muhammadans, malahan, mereka menyebutnya sebagai Wahhâbî’, sebuah nama setelah namanya ayahnya Syaikh… [Thomas Patrick Huges, Dictionary of Islam, hal. 59]. * George Rentz mengatakan bahwa istilah Wahhâbî’ digunakan untuk mengambarkan para pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb oleh musuh-musuh mereka sebagai ejekan bahwa Syaikh mendirikan sebuah sekte baru yang harus dihentikan dan aqidahnya ditentang. Mereka yang disebut dengan sebutan Wahhâbî’ ini beranggapan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb hanyalah seorang pengikut Sunnah, oleh karena itulah mereka menolak istilah ini dan bahkan menuntut agar dakwah beliau disebut dengan ad-Da’wah ila’t Tauhîd’, dimana istilah yang tepat untuk menggambarkan para pengikutnya adalah Muwahhidŭn’… [George Rentz dan Arberry, The Wahhabis in Religion in The Middle East Three Religion in Concord and Conflict, Cambridge Cambridge University Press, 1969, hal. 270]. Rentz juga mengatakan bahwa, para penulis barat ketika menggunakan istilah Wahhâbî’ adalah dengan maksud ejekan, ia juga menyatakan bahwa ia menggunakan istilah itu sebagai klarifikasi. [Lihat Nâshir ibn Ibrâhîm ibn Abdullâh Tuwaim, Asy-Syaikh Muhammad ibn Abd`ul Wahhâb Hayâtuhu wa Da’watuhu fi`r Ru`yâ al-Istisyrâqiyya Dirôsah Naqdîyyah Riyadh Kementerian Urusan Keislaman, Pusat Penelitian dan Studi Islam, 1423/2003 hal. 86-7. Buku ini juga dapat dilihat secara online di . Biar bagaimanapun, siapa saja yang menggunakan istilah ini , baik dari masa lalu sampai saat ini, telah melakukan beberapa kesalahan, diantaranya * Mereka menyebut dakwah Muhammad bin Abdul Wahhâb sebagai Wahhâbiyyah’, walaupun dakwah ini tidak dimulai oleh Abdul Wahhâb, namun oleh puteranya Muhammad. * Pada awalnya, Abdul Wahhâb tidak menyetujui dakwah puteranya dan menyanggah beberapa ajaran puteranya. Walau demikian, tampak pada akhir kehidupannya bahwa beliau akhirnya menyetujui dakwah puteranya. Semoga Alloh merahmatinya. Musuh-musuh dakwah, tidak menyebut dakwah ini dengan sebutan Muhammadiyyah –terutama semenjak Muhammad, bukan ayahnya, Abdul Wahhâb, memulai dakwah ini- karena dengan menyebutkan kata ini, Muhammad, mereka bisa mendapatkan simpati dan dukungan dakwah, ketimbang permusuhan dan penolakan. Istilah “Wahhâbi”, dimaksudkan sebagai ejekan dan untuk meyakinkan kaum muslimin supaya tidak mengambil ilmu atau menerima dakwah Muhammad ibn Abdul Wahhâb, yang telah digelari oleh mereka sebagai mubtadi’ ahli bid’ah yang tidak mencintai Rasulullâh Shallâllâhu alaihi wa Sallam. Walaupun demikian, penggunaan istilah ini telah menjadi sinonim dengan seruan dakwah untuk berpegang al-Qur`ân dan as-Sunnah dan suatu indikasi memiliki penghormatan yang luar biasa terhadap salaf, yang berdakwah untuk mentauhîdkan Allôh semata serta memerintahkan untuk mentaati semua perintah Rasulullâh Shallâllâhu alaihi wa Sallam. Hal ini adalah kebalikan dari apa yang dikehendaki oleh musuh-musuh dakwah. [Lihat Qodhî Ahmad ibn Hajar Alu Abŭthâmi al-Bŭthâmi, Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhâb His Salafî Creed and Reformist Movement, hal. 66]. Pada belakang hari, banyak musuh-musuh dakwah Imam Muhammad Ibn Abdul Wahhâb akhirnya menjadi kagum terhadap dakwah dan memahami esensi dakwahnya yang sebenarnya, melalui membaca buku-buku dan karya-karyanya. Mereka mempelajari bahwa dakwah ini adalah dakwah Islam yang murni dan terang, yang Alloh mengutus semua Nabi-Nya alaihim`us Salâm untuknya untuk dakwah tauhîd ini. Menggunakan istilah Wahhâbiyyah’ ini, tidak akan menghentikan penyebaran dakwah ini ke seluruh penjuru dunia. Bahkan pada kenyataannya, walaupun berada di tengah-tengah dunia barat, banyak kaum muslimin yang mempraktekkan Islam murni ini, yang mana Imâm Muhammad Ibn Abdul Wahhâb secara antusias mendakwahkannya dan menjadikannya sebagai misi dakwah beliau. Semua ini disebabkan karena tidak ada seorangpun yang dapat mengalahkan al-Qur`ân dan as-Sunnah, tidak peduli sekuat apapun seseorang itu. Perlu dicatat pula, bahwa diantara karakteristik mereka yang berdakwah kepada tauhîd adalah, adanya penghormatan yang sangat besar terhadap al-Qur`ân dan sunnah Nabi. Mereka dikenal sebagai kaum yang mendakwahkan untuk berpegang kuat dengan hukum Islam, memurnikan tashfiyah dan mendidik tarbiyah bahwa peribadatan hanya milik Allôh semata serta memberikan respek terhadap para sahabat nabî dan para ulamâ` Islâm. Mereka adalah kaum yang dikenal sebagai orang yang lebih berilmu di dalam masalah ilmu Islam secara mendetail daripada kebanyakan orang selain mereka. Telah menjadi suatu pengetahuan umum bahwa dimana saja ada seorang salafî bermukim, kelas-kelas yang mengajarkan ilmu sunnah tumbuh subur. Sekiranya istilah “Wahhâbî” ini digunakan untuk para pengikut dakwah, bahkan sekalipun dimaksudkan untuk mengecilkan hati ummat agar tidak mau menerima dakwah mereka, tetaplah salah baik dulu maupun sekarang, menyebut dakwah ini dengan sebutan “Wahhâbiyyah”. Imâm Muhammad ibn Abdul Wahhâb berdakwah menyeru kepada jalan Rasulullâh Shallâllâhu alaihi wa Sallam dan para sahabat nabi, beliau tidak berdakwah menyeru kaum muslimin supaya menjadi pengikutnya. Dakwah beliau bukanlah sebuah aliran/sekte baru, namun dakwah beliau adalah kesinambungan warisan dakwah yang dimulai dari generasi pertama Islam dan mereka yang mengikuti jalan mereka dengan lebih baik. Dalihbahasakan oleh Abŭ Salmâ al-Atsarî dari Jalâl Abŭ Alrub dan Alâ Mencke ed., Biography and Mission of Muhammad Ibn Abdul Wahhâb Orlando, Florida Madinah Publisher, 1424/2003, hal. 677-81. Dengan tambahan catatan oleh Salafimanhaj Research, Who First Used The Term “Wahhabi”? ☀ ☀☀☀☀☀ ☀ Tanya JBS Asslamualaikum, Afwan,untuk ASWAJA apakah itu harus ditinggalkan ? Tolong penjelasannya Jawab Abu Ayaz JBS afwan, utk menjawab pertanyaan antum itu, butuh penjelasan yang panjang sekali agar antum faham rincian2nya. Namun intinya, jika antum tidak mau di katakan sebagai ahlul bid’ah dan ahlul syirik sebab ASWAJA melakukan banyak sekali bid’ah dan mereka tawasul di kuburan orang2 yang mereka anggap wali , dan antum tidak mau dikatakan mengingkari bahwa Allah ada diatas langit sebagaimana hadits yang shahih, maka tinggalkanlah pemahaman ASWAJA ini. Namun dalam hal ini tidak ada paksaan. Semoga Allah memberi antum hidayah. Allahu yahdik wa hadaanallahu. ___ Jawab Abu Nabilah Mungkin bisa ana tambahkan … Mengenal Sejarah dan Pemahaman Ahlussunnah wal Jamaah Rabu, 27 Agustus 2003 – 024358 kategori Manhaj Penulis Majalah Salafy Edisi Perdana/Syaban/1416 . . Sebelum kita berbicara tentang topik dan judul pembahasan ini, sebaiknya kita mengenal beberapa pengertian istilah yang akan dipakai dalam pembahasan ini. A. Beberapa Pengertian 1. As-Sunnah As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh atau cara pelaksanaan suatu amalan baik itu dalam perkara kebaikan maupun perkara kejelekan. Maka As-Sunnah yang dimaksud dalam istilah Ahlus Sunnah ialah jalan yang ditempuh dan dilaksanakan oleh Rasulullah salallahu alaihi wa sallam serta para shahabat beliau, dan pengertian Ahlus Sunnah ialah orang-orang yang berupaya memahami dan mengamalkan As-Sunnah An-Nabawiyyah serta menyebarkan dan membelanya. 2. Al-Jama’ah Menurut bahasa Arab pengertiannya ialah dari kata Al-Jamu’ dengan arti mengumpulkan yang tercerai berai. Adapun dalam pengertian Asyari’ah, Al-Jama’ah ialah orang-orang yang telah sepakat berpegang dengan kebenaran yang pasti sebagaimana tertera dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits dan mereka itu ialah para shahabat, tabi’in yakni orang-orang yang belajar dari shahabat dalam pemahaman dan pengambilan Islam walaupun jumlah mereka sedikit, sebagaimana pernyataan Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu “Al-Jama’ah itu ialah apa saja yang mencocoki kebenaran, walaupun engkau sendirian dalam mencocoki kebenaran itu. Maka kamu seorang adalah Al-Jama’ah.” 3. Al-Bid’ah Segala sesuatu yang baru dan belum pernah ada asal muasalnya dan tidak biasa dikenali. Istilah ini sangat dikenal dkialangan shahabat Nabi Rasulullah salallahu alaihi wa sallam karena beliau selalu menyebutnya sebagai ancaman terhadap kemurnian agama Allah, dan diulang-ulang penyebutannya pada setiap hendak membuka khutbah. Jadi secara bahasa Arab, bid’ah itu bisa jadi sesuatu yang baik atau bisa juga sesuatu yang jelek. Sedangkan dalam pengertian syari’ah, bid’ah itu semuanya jelek dan sesat serta tidak ada yang baik. Maka pengertian bid’ah dalam syariah ialah cara pengenalan agama yang baru dibuat dengan menyerupai syariah dan dimaksudkan dengan bid’ah tersebut agar bisa beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih baik lagi dari apa yang ditetapkan oleh syari’ah-Nya. Keyakinan demikian ditegakkan tidak di atas dalil yang shahih, tetapi hanya berdasar atas perasaan, anggapan atau dugaan. Bid’ah semacam ini terjadi dalam perkara aqidah, pemahaman maupun amalan. 4. As-Salaf Arti salaf secara bahasa adalah pendahulu bagi suatu generasi. Sedangkan dalam istilah syariah Islamiyah as-salaf itu ialah orang-orang pertama yang memahami, mengimami, memperjuangkan serta mengajarkan Islam yang diambil langsung dari shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam, para tabi’in kaum mukminin yang mengambil ilmu dan pemahaman/murid dari para shahabat dan para tabi’it tabi’in kaum mukminin yang mengambil ilmu dan pemahaman/murid dari tabi’in. istilah yang lebih lengkap bagi mereka ini ialah as-salafus shalih. Selanjutnya pemahaman as-salafus shalih terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits dinamakan as-salafiyah. Sedangkan orang Islam yang ikut pemahaman ini dinamakan salafi. Demikian pula dakwah kepada pemahaman ini dinamakan dakwah salafiyyah. 5. Al-Khalaf Suatu golongan dari ummat Islam yang mengambil fislafat sebagai patokan amalan agama dan mereka ini meninggalkan jalannya as-salaf dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits. Awal mula timbulnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak diketahui secara pasti kapan dan dimana munculnya karena sesungguhnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah mulai depopulerkan oleh para ulama salaf ketika semakin mewabahnya berbagai bid’ah dikalangan ummat Islam. Yang jelas wabah bid’ah itu mulai berjangkit pada jamannya tabi’in dan jaman tabi’in ini yang bersuasana demikian dimulai di jaman khalifah Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya juz 1 Syarah Imam Nawawi bab Bayan Amal Isnad Minad Din dengan sanadnya yang shahih bahwa Muhammad bin Sirrin menyatakan, “Dulu para shahabat tidak pernah menanyakan tentang isnad urut-urutan sumber riwayat ketika membawakan hadits Nabi salallahu alaihi wa sallam. Maka ketika terjadi fitnah yakni bid’ah mereka menanyakan, sebutkan para periwayat yang menyampaikan kepadamu hadits tersebut.’ Dengan cara demikian mereka dapat memeriksa masing-masing para periwayat tersebut, apakah mereka itu dari ahlus sunnah atau ahlul bid’ah. Bila dari ahlus sunnah diambil dan bila ahlul bid’ah ditolak.” Riwayat yang sama juga dibawakan oleh Khalid Al-Baghdadi dengan sanadnya dalam kitab beliau. Riwayat ini memberitahukan kepada kita bahwa pada jaman Muhammad bin Sirrin sudah ada istilah ahlus sunnah dan ahlul bid’ah. Muhammad bin Sirrin lahir pada tahun 33 H dan meniggal pada tahun 110 H. kemudian istilah ini juga muncul pada jaman Imam Ahmad bin Hambal lahir 164 dan meninggal 241 H khususnya ketika terjadi fitnah pemahaman sesat yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, bertentangan dengan ahlus sunnah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu Kalamullah. Fitnah terjadi di jaman pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun Al-Abbasi. Imam Ahmad pada masa fitnah ini adalah termasuk tokoh yang paling berat mendapat sasaran permusuhan dan kekejaman para tokoh ahlul bid’ah melalui Khalifah tersebut. Mulai saat itulah istilah ahlus sunnah wal jama’ah menjadi sangat populer hingga kini. Jadi, istilah ahlu sunnah timbul dan menjadi populer ketika mulai serunya pergulatan antara as-salaf dan al-khalaf, akibat adanya infiltrasi berbagai filsafat asing ke dalam masyarakat Islam. Ahlus Sunnah wal Jama’ah kemudian menjadi simbol sikap istiqamahnya tegarnya para ulama ahlul hadits dalam berpegang dengan as-salafiyah ketika para tokoh ahlul bid’ah meninggalkannya dan ketika berbagai pemahaman dan amalan bid’ah mendominasi masyarakat Islam. B. Dalil-Dalil Ahlus Sunnah wal Jama’ah Mengapa ahlu sunnah demikian bersikeras merujuk pada pemahaman para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits? Ini adalah pertanyaan yang tentunya membutuhkan dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits untuk menjawabnya. Ahlus Sunnah merujuk kepada para shahabat dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits dikarenakan Allah dan Rasul-Nya banyak sekali memberitahukan kemuliaan mereka, bahkan memujinya. Faktor ini membuat para shahabat menjadi acuan terpercaya dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai landasan utama bagi Syari’ah Islamiyah. Dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits shahih yang menjadi pegangan ahlus sunnah dalam merujuk kepada pemahaman shahabat sangat banyak sehingga tidak mungkin semuanya dimuat dalam tulisan yang singkat ini. Sebagian diantaranya perlu saya tulis disini sebagai gambaran singkat bagi pembaca tentang betapa kokohnya landasan pemahaman ahlus sunnah terhadap syariah ini. 1. Para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam adalah kecintaan Allah dan mereka pun sangat cinta kepada Allah “Sesungguhnya Allah telah ridha kepada orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu Hai Muhammad di bawah pohon yakni Baitur Ridwan maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan keterangan atas mereka dan memberi balasan atas mereka dengan kemenangan yang dekat waktunya.Al-Fath18 Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah ridha kepada para shahabat yang turut membaiat Rasulullah salallahu alaihi wa sallam di Hudhaibiyyah sebagai tanda bahwa mereka telah siap taat kepada beliau dalam memerangi kufar kaum kafir Quraisy dan tidak lari dari medan perang. Diriwayatkan bahwa yang ikut ba’iah tersebut seribu empat ratus orang. Dalam ayat lain, Allah Sunahanahu wa Ta’ala berfirman “Hai orang-orang yang beriman, siapa di antara kalian yang murtad dari agama-Nya yakni keluar dari Islam niscaya Allah akan datangkan suatu kaum yang Ia mencintai mereka dan mereka mencintai Allah, bersikap lemah lembut terhadap kaum mukminin dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir, mereka berjihad di jalan Alah dan tidak takut cercaan si pencerca. Yang demikian itu adalah keutamaan dari Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki dan Allah itu Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”Al-Maidah54 Ath-Thabari membawakan beberapa riwayat tentang tafsir ayat ini antara lain yang beliau nukilkan dari beberapa riwayat dengan jalannya masin-masing, bahwa Al-Hasan Al-Basri, Adh-Dhahadh, Qatadah, Ibnu Juraij, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah Abu Bakar Ash-Shidiq dan segenap shahabat Nabi setelah wafatnya Rasulullah salallahu alaihi wa sallam dalam memerangi orang yang murtad. 3. Para shahabat adalah teladan utama setelah Nabi dalam beriman Ditegaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Kalau mereka itu beriman seperti imannya kalian yaitu kaum mukminin terhadapnya, maka sungguh mereka itu mendapatkan perunjuk dan kalau mereka berpaling mereka itu dalam perpecahan. Maka cukuplah Allah bagimu hai Muhammad terhadap mereka dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”Al-Baqarah137 Ayat ini menegaskan bahwa imannya kaum mukminin itu adalah patokan bagi suatu kaum untuk mendapat petunjuk Allah. Kaum mukminin yang dimaksud yang paling mencocoki kebenaran sebagaimana yang dibawa oleh Nabi salallahu alaihi wa sallam tidak lain ialah para shahabat Nabi yang paling utama dan generasi sesudahnya yang mengikuti mereka. Juga ditegaskan pula hal ini oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Surat Al-Fath 29 “Muhammad itu adalah Rasulullah, dan orang-orang yang besertanya keras terhadap orang-orang kafir, berkasih sayang sesama mereka. Engkau lihat mereka ruku dan sujud mengharapkan keutamaan dari Allah dan keridhaan-Nya. Terlihat pada wajah-wajah mereka bekas sujud. Demikianlah permisalan mereka di Taurat, dan demikian pula permisalan mereka di Injil. Sebagaimana tanaman yang bersemi kemudian menguat dan kemudian menjadi sangat kuat sehingga tegaklah ia diatas pokoknya, yang mengagumkan orang yang menanamnya, agar Allah membikin orang-orang kafir marah pada mereka. Allah berjanji kepada orang-orang yang beriman dari kalangan mereka itu ampunan dan pahala yang besar.” Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi dalil bagi Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam merujuk kepada para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits. Tentunya dalil-dalil dari Al-Qur’an tersebut berdampingan pula dengan puluhan bahkan ratusan hadists shahih yang menerangkan keutamaan shahabat secara keseluruhan ataupun secara individu. Dari hadits-hadits berikut dapat disimpulkan bahwa 1. Kebaikan para shahabat tidak mungkin disamai “Jangan kalian mencerca para shahabatku, seandainya salah seorang dari kalian berinfaq sebesar gunung Uhud, tidaklah ia mencapai ganjarannya satu mudukuran gandum sebanyak dua telapak tangan diraparkan satu dengan lainnya makanan yang dishodaqahkan oleh salah seorang dari mereka dan bahkan tidak pula mencapai setengah mudnya.”HR. Bukhari dan Muslim 2. Para shahabat adalah sebaik-baik generasi dan melahirkan sebaik-baik generasi penerus pula “Dari Imran bin Hushain radhiallahu anhu bahwa Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda Sebaik-baik ummatku adalah yang semasa denganku kemudian generasi sesudahnya yakni tabi’in, kemudian generasi yang sesudahnya lagi yakni tabi’it tabi’in. Imran mengatakan Aku tidak tahu apakah Rasulullah menyebutkan sesudah masa beliau itu dua generasi atau tiga.’ Kemudian Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda Kemudian sesungguhnya setelah kalian akan datang suatu kaum yang memberi persaksian padahal ia tidak diminta persaksiannya, dan ia suka berkhianat dan tidak bisa dipercaya, dan mereka suka bernadzar dan tidak memenuhi nadzarnya, dan mereka berbadan gemuk yakni gambaran orang-orang yang serakah kepadanya’.”HR Bukhari 3. Para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam adalah orang-orang pilihan yang diciptakan Allah untuk mendampingi Nabi-Nya “Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda Sesungguhnya Allah telah memilih aku dan juga telah memilih bagiku para shahabatku, maka Ia menjadikan bagiku dari mereka itu para pembantu tugasku, dan para pembelaku, dan para menantu dan mertuaku. Maka barang siapa mencerca mereka, maka atasnyalah kutukan Allah dan para malaikat-Nya an segenap manusia. Allah tidak akan menerima di hari Kiamat para pembela mereka yang bisa memalingkan mereka dari adzab Allah.”HR Al-Laalikai dan Hakim, SHAHIH Dan masih banyak lagi hadits-hadits shahih yang menunjukkan betapa tingginya kedudukan para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam di dalam pandangan Nabi. Maka kalau Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits telah memuliakan para shahabat dan menyuruh kita memuliakannya, sudah semestinya kalau Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjadikan pemahaman, perkataan, dan pengamalan para shahabat terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai patokan utama dalam menilai kebenaran pemahamannya. Ahlus sunnah juga sangat senang dan mantap dalam merujuk kepada para shahabat Nabi dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dikutip dari Majalah Salafy Edisi Perdana/Syaban/1416 H/1995 H, Rubrik Aqidah, Hal 14-17 ____ ☀ ☀☀☀ Catatan Fr. Orcela 1> APA ITU WAHABI ? 2>MELURUSKAN TUDUHAN MIRING TENTANG WAHHABI
Disamping itu, ada juga aliran Syiah. WAHABI SALAFI. Aliran Syiah bertentangan dengan Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) atau Sunni. Dalam pandangan Sunni, Abu Bakar, bukan Ali bin Abu Thalib, adalah yang pantas menjadi Khalifah pertama yang kemudian diteruskan oleh Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan baru Ali bin Abu Thalib sebagai Membicarakan makna “salaf” tidak hanya terpaku pada satu makna. Sebagaimana yang kita tahu bahwa Bahasa Arab itu memiliki banyak makna dalam satu kata bakunya yang jika dikembangkan ke berbagai wazan, maka artinya pun beda, begitu juga denga perbedaan ini sejak dulu sudah digunakan di Indonesia, contohnya pesantren salafiyah yang berarti metodenya masih menggunakan metode salaf dalam proses menyalurkan pengetahuan, yaitu sorogan dan bandongan atau dalam istilah ilmu hadits yaitu tahammul wal ada’ via qira’ah ala syaikh murid membaca kepada guru atau sima’ min syaikh guru yang membaca dan murid yang mendengarkan.Akhir-akhir ini pula banyak kelompok yang mendakwahkan dirinya sebagai pengikut salafi. Jika ada sebagian orang desa mendengar istilah itu, maka langsung terbersit makna pesantren salafiyah yang tersebar di desa mereka, atau santri-santri pondok tersebut, padahal yang dimaksud bukanlah dari kitab Nazarat fi Jauharatit Tauhid yang disusun oleh Dr Abdul Hamid Ali Izz Al-Arab, Dr Shalah Mahmud Al-Adily, dan Dr Ramadhan Abdul Basith Salim, ketiganya dosen Al-Azhar Mesir, kita perlu membedakan ketiga istilah di atas karena satu di antara tiga istilah itu berbeda dengan yang istilah “Salaf” yaitu para sahabat, tabi’in dan atba’it tabiin yang hidup sampai batas 300 H. Merekalah sebaik-baiknya generasi, sebagaimana termaktub dalam hadits nabi SAW yang diriwayatkan Imam Bukhari dengan sanad dari Abdullah bin Mas’ud dari nabi SAWخَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ يَجِئُ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمَيْنُهُ وَ يَمَيْنُهُ شَهَادَتُهُArtinya, “Sebaik-baik manusia adalah pada zamanku sahabat, kemudian orang-orang setelah mereka tabi’in, kemudian yang setelahnya lagi atba’it tabi’in, kemudian akan datang suatu kaum yang persaksiannnya mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului persaksiannya.”Meskipun definisi mereka sampai batas 300 H, di sini ada catatan penting yaitu keselarasan mereka dengan Al-Quran dan Hadits. Jika hanya hidup pada rentang masa 300 H tetapi kontradiksi dengan kedua pedoman ini, maka tidak disebut sebagai salaf. Salah satu contohnya adalah sekte musyabbihah yang hidup pada masa adalah kelompok tekstualis dalam membaca Al-Quran dan hadits yang meyakini bahwa Allah serupa dengan makhluk-Nya, yaitu memiliki anggota tubuh antara lain bertangan, berkaki, bermulut, bermata, dan “salafi” adalah mereka ulama maupun orang biasa yang datang setelah 300 H dan dinisbahkan pada kaum salaf yang telah disebutkan di atas, juga menganut manhajnya metode. Istilah ini dapat dikaitkan dengan semua orang yang yang mengikuti manhaj salaf, bahkan kita pun bisa, namun itu terjadi jika memang benar-benar perilaku dan manhajnya berdasarkan salaf, bukan hanya menyandang titel salafi tetapi perilakunya adalah salafiyyah yang difondasikan dan disusun oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 728 H dan muridnya Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah 751H dari Al-Quran, Hadits, perbuatan serta perkataan ulama salaf dan mengodifikasikannya dalam bentuk kitab khusus dan prinsip yang tetap. Unsur-unsur dalam kitab kedua ulama itu memang sudah ada sebelumnya, namun masih berserakan terpisah, kemudian barulah munculah Muhammad bin Abdil Wahhab 1206 H yang menyebarkan apa yang disusun oleh kedua ulama tadi, Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahumallah di jazirah arab, ia berpegang teguh pada beberapa risalah dan ikhtisar yang dikutip dari kitab-kitab Ibnu dari kitab Nazarat fi Jauharatit Tauhid, terdapat catatan yang menurut saya penting dari perkataan salah seorang peneliti di dalam kitab Al-Fikrul Islamy Al-Hadits karya Dr Abdul Maqshud Abdul Ghani, “Jika kita membandingkan antara pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab dan Ibnu Taimiyyah dalam beberapa masalah akidah hampir keduanya sama dan tidak berbeda, kecuali Ibnu Taimiyyah telah merinci pendapatnya dan menguatkannya dengan dalil-dalil dan hujjah, serta membantah pendapat orang yang berseberangan dengannya dengan dalil dan sanad. Sedangkan Muhamad bin Abdul Wahhab hanya mennyebutkan keterangannya secara singkat saja.”Hal yang menonjol dari ketiganya hanya dari segi waktu dan pijakan dalam berpegang pendapat, jika salafy itu memang orang-orang yang menisbahkan dirinya sebagai pengikut manhaj salaf atau Ahlussunah wal Jamaah, salafiyyah lebih condongnya disebut usaha regenerasi, meskipun dalam beberapa realitanya tidak warga Indonesia, banyak istilah naturalisasi dari bahasa lain yang kita gunakan di kehidupan keseharian secara umum, seperti tadi pondok pesantren salafiyah. Lagi-lagi kita harus mencermati suatu istilah berdasarkan makna, substansi, dan intisarinya. Jangan terpaku pada sisi zahirnya saja. Adakalanya suatu istilah berbeda antara praktik dan substansinya. Wallahu a’lam. Amien Nurhakim OlehAlhafiz Kurniawan Penulis Kajian Tauhid di NU Online EDITOR.ID, Mazhab salaf atau Ahlussunnah wal Jamaah adalah mazhab yang benar dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits yang berkaitan dengan keimanan Imam Al-Ghazali memberikan panduan bagi orang awam agar tetap berpegang pada mazhab salaf dalam beriman. Menurutnya, mazhab salaf adalah mazhab yang benar dalam memahami ayat

Wahabi Wahabiyah, Wahabisme dan Salafi Salafiyah, Salafisme menjadi “trending topics” dalam wacana gerakan Islam akhir-akhir ini. Keduanya digambarkan dalam media-media Barat dan sekuler sebagai kelompok “radikal”, militan, garis keras, atau konotasi negatif lainnya. Di sisi lain, hampir semua ormas Islam menyatakan diri bermadzhab atau aliran Ahlus Sunnah wal Jamaah. WAHABI Nama atau istilah Wahabi tidak lepas dari pemikiran dan perjuangan ulama Arab Saudi, Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab. Ia dikenal sebagai ulama pembaharu atau penyeru pemurnian purifikasi pemahaman dan pengamalan ajaran Islam. Ia berdakwah memerangi perilaku syirik, bid’ah, khurafat, dan tahayul di kalangan umat Islam. Abdul Wahab menilai, kemunduran umat Islam terjadi karena mereka sudah jauh dari Islam yang murni, yakni praktik ibadahnya sudah bercampur dengam hal-hal berbau bid’ah, khurafat, dan tahayul yang tidak ada ajarannya dalam Islam. Muhammad bin Abdul Wahhab 1701 – 1793 M lahir di Kampung Ainiyah, Najd, Arab Saudi, dari kabilah Bani Tamim. Bukunya bertajuk Kitab al-Tauhid. Para murid dan pendukungnya disebut Wahabi. Namun, para pendukungnya menolak disebut Wahabi, karena pada dasarnya ajaran Ibnu Wahhab adalah ajaran Nabi Muhammad Saw, bukan ajaran tersendiri. Karenanya, mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafis atau Muwahhidun, yang berarti “satu Tuhan”. Ia memberantas khurafat seperti menganggap “keramat” makam para ulama yang dinilai berbahaya bagi tauhid umat. Sikap tegas dan tanpa kompromi dalam masalah akidah membuat ia dikenai banyak tuduhan atau fitnah. Abdul Wahab wafat tanggal 29 Syawal 1206 H/1793 M, dalam usia 92 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Dar’iyah Najd. Demikian catatan singkat tentang Wahabi atau Abdul Wahab berdasarkan sumber-sumber yang kami miliki dan yakini kebenarannya. SALAFI Salaf, Salafi, Salafy, Salafiyah, atau Salafiyun secara bahasa artinya para pendahulu, generasi awal umat Islam. Generasi Salaf merupakan sebutan bagi para sahabat Rasulullah Saw, yaitu orang-orang beriman yang dekat dan sezaman dengan beliau, dan para pengikut mereka tabi’in serta generasi sesudahnya Tabi’ut Tabi’in. Mereka tiga generasi terbaik umat Muslim dan memberikan contoh bagaimana Islam dipraktekkan. Para sahabat digelar “khairu ummah”, sebaik-baik manusia. Mereka paling paham agama dan paling baik amalannya. Sabda Rasulullah Saw “Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian generasi setelahnya kemudian generasi setelahnya”. Salaf atau kelompok Salafy adalah mereka berkomitmen di atas Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw. Istilah Salafy juga biasa dialamatkan kepada Ahlus Sunnah wal Jamaah dikarenakan berpegang teguh kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Kelompok Salafy, pasca generasi awal kaum Muslim itu, tidaklah dibatasi atau ditujukan kepada jamaah organisasi tertentu, daerah tertentu, pemimpin tertentu, partai tertentu, dan sebagainya. Jadi, tidak eksklusif atau bukanlah kelompok eksklusif. “Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, mereka kekal abadi di dalamnya. Itulah kesuksesan yang agung.” QS. At-Taubah 100. Dalam ayat tersebut Allah SWT tidak mengkhususkan ridha dan jaminan surga-Nya untuk para sahabat Muhajirin dan Anshar semata, tetapi juga bagi orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH Ahlus Sunnah wal Jamaah Aswaja, secara harfiah, berarti orang yang mengikuti tuntunan dan kelompok pengikut Nabi Saw. Ahlus Sunnah bisa juga berarti orang yang mengikuti sunnah Nabi Saw, lawannya ahlul Bid’ah. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, sifat Ahlus Sunnah wal Jamaah antara lain beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mengakui mengimani semua yang dibawa para nabi dan rasul, mengetahui hak orang salaf yang telah dipilih oleh Allah untuk menyertai Nabi-Nya, mendahulukan Abu Bakar, Umar, dan Utsman serta mengakui hak Ali bin Abi Thalib, Zubair, Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqqash, Said bin Zaid bin Amr bin Nufail atas para sahabat yang lain –merekalah sembilan orang yang telah bersama-sama Nabi Saw berada di atas Gunung Hira’, shalat berjamaah dan Jumat bersama semua pemimpin –baik yang taat maupun zhalim. Ahlus Sunnah wal Jamaah itu tidak identik dengan kelompok atau madzhab tertentu, tetapi siapa saja yang memenuhi kualifikasi di atas. Ketaatan pada Sunnah Rasul tidak hanya dan tidak cukup dengan cara berpakaian, tapi lebih dari itu adalah meneladani akhlak, ibadah, dan mu’amalah Rasulullah Saw. Dengan demikian, Salafi, Wahabi, dan Aswaja hahikatnya adalah umat Islam yang memegang teguh rukun iman dan Islam, berpedoman kepada Al-Quran dan Sunnah. Julukan dan pemberitaan ”miring” tentang Salafi dan Wahabi hanyalah upaya ”pihak lain” yang hendak mengadu-domba atau memecah-belah umat Islam. Wallahu a’lam bish-Shawab. Abu Faiz, dari berbagai sumber.* Dikutip dari Penulis Abu Faiz Jika artikel ini bermanfaat, silahkan share. Lets change the world together saudaraku !...

MataRantai Aqidah Salaf dan Ahlussunnah wal Jamaah. Imam Al-Ghazali memberikan panduan bagi orang awam agar tetap berpegang pada mazhab salaf dalam beriman. Menurutnya, mazhab salaf adalah mazhab yang benar dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits yang berkaitan dengan keimanan. Artinya, "Ketahuilah, kebenaran nyata yang tanpa
ANTARA AHLUS-SUNNAH WAL-JAMA’AH DENGAN MANHAJ SALAFPertanyaan. Ana mau bertanya tentang manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dan kaitannya dengan manhaj Salaf Salafi/Salafush-Shâlih. Apakah keduanya hakikatnya manhaj yang sama? Jazakallah Manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah sama dengan manhaj Salaf atau Salafi atau Salafush-Shâlih. Disebut dengan manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, karena jalan kebenaran itu adalah jalan orang-orang yang berpegang teguh terhadap Sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabdaأُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ Aku wasiatkan kepada engkau untuk bertakwa kepada Allah; mendengar dan taat kepada penguasa kaum muslimin, walaupun seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya barang siapa hidup setelahku, ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka engkau wajib berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru dalam agama, karena semua perkara baru dalam agama adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat.[1]Adapun jalan yang ditempuh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat itulah yang disebut dengan al-jama’ah, sebagaimana hadits di bawah iniعَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَإِحْدَى وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ قَالَ الْجَمَاعَةُ Dari Auf bin Mâlik Radhiyallahu anhu, ia berkata Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda “Orang-orang Yahudi telah bercerai-berai menjadi 71 kelompok, satu di dalam surga, 70 di dalam neraka. Orang-orang Nashara telah bercerai-berai menjadi 72 kelompok, 71 di dalam neraka, satu di dalam surga. Demi Allah, Yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, umatku benar-benar akan bercerai-berai menjadi 73 kelompok, satu di dalam surga, 72 di dalam neraka”. Beliau Shallallahu alaihi wa sallam ditanya “Wahai Rasulullah! Siapakah mereka itu?” Beliau Shallallahu alaihi wa sallam menjawab “Al-Jama’ah”.[2]Pada hadits lain disebutkanعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أُمَّتِي مَا أَتَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ حَتَّى إِنْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلَانِيَةً لَكَانَ فِي أُمَّتِي مَنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي Dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu anhu , ia berkata Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda “Benar-benar akan datang kepada umatku, apa yang telah datang pada Bani Israil, persis seperti sepasang sandal. Sehingga jika di antara mereka ada yang menzinahi ibunya terang-terangan, di kalangan umatku benar-benar ada yang akan melakukannya. Dan sesungguhnya Bani Isra’il telah bercerai-berai menjadi 72 agama, dan umatku akan bercerai-berai menjadi 73 agama, semuanya di dalam neraka kecuali satu”. Para sahabat bertanya “Siapakah yang satu itu, wahai Rasulullah?” Beliau Shallallahu alaihi wa sallam menjawab “Apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya”. [3]Para sahabat serta generasi yang mengikutinya adalah Salafush-Shalih, disingkat dengan Salaf. Artinya, ialah orang-orang yang terdahulu yang shalih. Sedangkan orang yang mengikutinya disebut Salafi. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memuji Salaf tersebut dengan sabda beliau Shallallahu alaihi wa sallam خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ Sebaik-baik manusia adalah generasiku yaitu generasi sahabat, kemudian orang-orang yang mengiringinya yaitu generasi tabi’in, kemudian orang-orang yang mengiringinya yaitu generasi tabi’ut tabi’in. Hadits mutawatir, riwayat Bukhâri, dan lainnyaNamun yang perlu kita ketahui juga, bahwa tidak setiap orang yang menyatakan dirinya Salafi, kemudian dia benar-benar berada di atas manhaj Salaf. Karena kebenaran itu tidak hanya dengan perkataan dan pengakuan saja, tetapi juga memerlukan dukungan yang dibuktikan dengan amal perbuatan.[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] ________ Footnote [1] HR Abu Dawud no. 4607, at-Tirmidzi 2676, ad-Dârimi, Ahmad, dan lainnya dari al-Irbadh bin Sariyah. [2] HR Ibnu Majah no 3992, Ibnu Abi Ashim no. 63, al-Lalikai 1/101. Hadits ini derajatnya hasan. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Ibni Majah, no. 3226. [3] Hadits Shahîh lighairihi, riwayat at-Tirmidzi, al-Hakim, dan lainnya. Dishahîhkan oleh Imam Ibnul-Qayyim dan asy-Syathibi. Dihasankan oleh al-Hafizh al-Iraqi dan Syaikh al-Albâni. Syaikh Salim al-Hilali menulis kitab khusus untuk membela hadits ini, yaitu Daf’ul Irtiyab an Haditsi mâ Ana alaihi wal- Ash-hab. Home /A3. Konsisten Diatas Manhaj.../Antara Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah Dengan...
SaatMasyarakat Iran Hidup Damai Berdampingan dalam Perbedaan Agama dan Mazhab. Meski mazhab Syiah menjadi mazhab resmi, Iran berkomitmen menjamin dan melindungi hak dan kebebasan penganut mazhab lain Islam. 29/07/2022, 09:58 WIB. Close Ads.
Berbeza pendapat adalah lumrah kehidupan dan tidak dapat dielakkan. Secara fitrah, manusia memang berbeza antara satu dengan yang lain. Namun ia tidak bererti manusia harus bersengketa dan berbalah sehingga bermusuhan dan mencetuskan huru hara dalam kehidupan. Lebih buruk lagi apabila ada pihak menuduh pihak yang lain sebagai berdosa, sesat, malah kafir. Isu akidah yang diperselisihkan berlaku dari dahulu hinggalah sekarang, baik di Timur Tengah mahupun di Nusantara. Malahan di seluruh dunia hari ini, umat Islam masih berselisih mengenai beberapa perkara yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah taala. Dalam kelompok Ahlis Sunnah Wal Jamaah pun tidak terlepas dari perselisihan ini. Bahkan, ada yang mendakwa bahawa merekalah golongan Ahlis Sunnah yang sebenar. Jika jurang ini dibiarkan tanpa ada usaha untuk menghuraikan perselisihan ini, umat Islam akan terus bersengketa dan boleh mencetuskan sekali lagi peperangan sesama mereka dalam masalah agama. Pada hal, Islam mengajar umatnya agar bersatu dan mengelak dari permusuhan dan persengketaan. Siapakah Asya`irah? Asya`irah merupakan satu mazhab dalam bidang ilmu akidah. Pengasasnya ialah Abu Hasan Al-Asy`ari yang dilahirkan di Basrah pada tahun 260 Hijrah. Beliau pernah berpegang pada mazhab Muktazilah dan berguru dengan ayah tirinya Abu Ali Al-Jubba’i. Selepas berusia 40 tahun, beliau berfikiran matang dan tekun mengkaji secara suatu hari, beliau berdebat dengan ayah tirinya mengenai kehidupan selepas mati. Selepas itu, Abu Hasan Al-Asy`ari bangun berucap di Masjid Basrah dan mengisytiharkan dirinya keluar dari mazhab Muktazilah untuk berpegang pada mazhab Ahlis Sunnah Wal Jamaah. Abu Hasan Al-Asy`ari membuat pembaharuan dalam Ahli Sunnah dengan mengemukakan hujah-hujah logik serta teks-teks Al-Quran dan Hadis yang ada. Beliau berjaya mengumpulkan ramai murid dan pengikut. Begitu berpengaruh aliran Asya`irah hingga hampir-hampir golongan Ahlis Sunnah Wal Jamaah dianggap sinonim dengannya. Mazhab ini juga didokong oleh ulama dari kalangan mazhab Hanafi, Maliki, Syafi`i dan Hanbali yang antara mereka ialah imam Al-Isfarayni, Al-Qaffal, al-Ghazali, al-Juwaini dan Al-Jurjani. Pembaharuan yang dibawa oleh Abu Hasan Al-Asy`ari membawa kekuatan kepada Ahlis Sunnah Wal Jamaah bagi menghadapi hujah golongan Muktazilah yang pesat berkembang dan mendapat sokongan daripada pemerintah-pemerintah kerajaan Abbasiah. Akhirnya, golongan Muktazilah dapat dibendung dengan hujah dan pemerintahan Abbasiah pula memberi dokongan politik pula bagi mazhab Asya`irah untuk berkembang. Imam Abu Hasan Al-Asy`ari juga meninggalkan beberapa buku yang dikarangnya dan masih ada pada zaman sekarang antaranya ialah Al-Ibanah `An Usul Al-Diyanah. Dalam buku ini, beliau dengan tegas menyokong Imam Ahmad bin Hanbal yang dipenjara dan didera oleh kerajaan Abbasiah yang menyokong Muktazilah pada zamannya. Dalam buku Al-Luma` Fi Al-Rad `Ala Ahl Al-Zaigh Wa Al–Bid`i pula beliau mengemukakan hujah logik dan nas untuk menghurai isu-isu akidah. Buku Maqalat Al–Islamiyin mendedahkan fahaman-fahaman yang timbul dalam ilmu Kalam dan menjadi rujukan penting dalam mengkaji pelbagai mazhab dalam akidah. Buku Istihsan Al-Khaudh Fi `Ilm Al-Kalam pula adalah risalah kecil bagi menolak hujah mereka yang mengharamkan ilmu Kalam. Walaupun ada di kalangan sarjana Islam terutamanya di kalangan mazhab Hanbali yang menyanggah beberapa hujah dan kaedah yang dibawa oleh Abu Hasan Al-Asy`ari, ia tidak harus menafikan jasanya mempertahankan fahaman Ahlis Sunnah Wal Jamaah. Fahaman beliau berjaya mematikan hujah-hujah Muktazilah yang terpesong jauh seperti Al-Quran sebagai makhluk, tidak boleh melihat Allah di hari Kiamat dan lain-lain. Imam Abu Hasan Al-Asy`ari meninggal dunia pada tahun 324 Hijrah dengan meninggalkan buku-buku sebagai pusaka ilmu yang berharga serta murid-murid yang meneruskan perjuangannya. Dia telah mewariskan satu mazhab akidah yang dianuti oleh sebahagian besar umat Islam hari ini bagi menghadapi cabaran-cabaran baru yang tidak ada pada zamannya. Siapakah Salafiah? Golongan ini adalah para pengikut aliran generasi awal dari kurun pertama Islam hingga ketiga, iaitu dari zaman Nabi Muhammad zaman sahabat dan tabi`in. Imam Al-Ajiri wafat 360 H yang merupakan salah seorang ulama mazhab Syafi`i berkata ketika menyebut nama imam-imam yang patut diikuti dalam akidah, khususnya imam Ahmad dan pengikutnya, “Tanda bagi sesiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya ialah dengan mengambil jalan ini iaitu jalan yang berlandaskan Kitabullah, Sunnah Rasul Sunnah para sahabatnya dan sesiapa yang mengikuti mereka dengan baik. Semoga Allah merahmati mereka, serta para imam dan ulama yang berada di atas landasan itu di setiap negeri seperti Al-Auza`i, Sufyan Al-Thauri, Malik bin Anas, Al-Syafi`i, Ahmad bin Hanbal, Al-Qasim bin Sallam dan sesiapa sahaja yang bersama mereka serta menjauhi semua mazhab yang tidak diikuti oleh mereka.” Imam Ibn Rajab pula berkata, “Di zaman kami, apabila dicatit secara khusus mengenai kata-kata Salaf yang diikuti, ia kembali kepada zaman Al-Syafi`i, Ahmad, Ishaq, dan Abu `Ubaid dan manusia hendaklah berwaspada dengan apa yang timbul selepas mereka kerana sesungguhnya telah berlaku banyak perkara baru selepas mereka..” Berdasarkan kededua pendapat ini, Salaf adalah; golongan yang terawal di kalangan para sahabat dan tabi`in, dan golongan yang menurut panduan Al-Quran, Sunnah Nabi Sunnah para sahabat dan tabi`in sepanjang zaman Kesimpulan yang sama dinyatakan oleh Syeikh Mahmud Ahmad Khafaji berkata di dalam kitab Al-Wajiiz Fi Aqidah Al-Salaf Al-Salih, “Barangsiapa yang pendapatnya sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah mengenai akidah, hukum dan suluknya menurut pemahaman Salaf, maka ia disebut Salafi, meskipun tempatnya jauh dan berbeza masanya….Sebaliknya barangsiapa pendapatnya menyalahi Al-Qur’an dan Sunnah, maka ia bukan seorang Salafi meskipun ia hidup pada zaman sahabat, tabi`in dan tabi` tabi`in.” Siapakah Ahlis Sunnah Wal Jamaah? Fakta sejarah memberitahu bahawa istilah Ahlis Sunnah Wal Jamaah tidak dikenali di zaman Nabi Terdapat beberapa pendapat yang berbeza mengenai kemunculan istilah ini. Ada yang mengatakan ia timbul di zaman pemerintahan Abbasiah apabila berlaku perselisihan antara Ahlis Sunnah dan Syi`ah. Ada yang mengatakan ia timbul ketika pergolakan antara Ahlis Sunnah yang beraliran Salaf dan Jahmiah. Ada pula yang berpendapat ia bermula ketika perdebatan antara Ahlis Sunnah dan Muktazilah. Imam Al-Lalaka’i, Al-Baghawi dan Ibn Kathir membawa satu riwayat bahawa Ibn Abbas berkata ketika menafsirkan ayat 106 dari surah Al-Baqarah yang bermaksud, “Pada hari di mana wajah-wajah akan menjadi putih dan ada juga wajah-wajah yang hitam…. Mereka yang putih wajahnya adalah Ahlis Sunnah Wal Jamaah serta golongan ilmuan. Manakala mereka yang hitam wajahnya adalah ahli bid`ah dan sesat.” Al-Fudhail bin `Iyadh wafat 187 berkata, “Golongan Murji’ah berkata iman adalah perkataan tanpa amal, Jahmiah pula berkata iman itu adalah pengetahuan tanpa perkataan dan amal, Ahlis Sunnah berkata iman itu adalah pengetahuan, perkataan dan amal.” Imam Ibn Jarir Al-Tabari wafat 310H berkata, “Apa yang benar dalam perkara melihat Allah bagi orang beriman di hari kiamat merupakan [pegangan] agama kami yang Allah telah tetapkan dan kami telah mendapatinya sebagai pegangan Ahlis Sunnah Wal Jamaah, iaitu ahli syurga akan dapat melihatNya menurut khabar yang sahih daripada Rasulullah Jika dilihat dari nukilan kata-kata ulama silam seperti di atas, ia mula disebut seawal pertengahan kurun pertama hijrah, iaitu zaman generasi awal Islam yang dikenali sebagai Salaf seperti yang dinukilkan daripada Ibn Abbas Selanjutnya para ulama terus mendukung aliran itu sehingga kepada imam Abu Hasan Al-Asy`ari yang meneruskan usaha membasmi fahaman Muktazilah sehingga terbentuk satu gerakan dan kesatuan umat Islam, berpandukan Al-Quran dan Sunnah yang dikenali juga sebagai Ahlis Sunnah Wal Jamaah. Hakikat ini memberitahu bahawa Ahlis Sunnah wujud sebelum kemunculan mazhab Asya`irah dan Ahlis Sunnah pada awalnya diisi oleh generasi Salaf dahulu lalu meliputi golongan Asya`irah kemudiannya. Sebab itulah Asya`irah dikenali juga dengan mazhab khalaf generasi yang datang kemudian setelah Salaf. Menghuraikan Pertikaian Dalam menghuraikan pertikaian, pendekatan berpegang pada sudut yang disepakati adalah satu keperluan. Al-Quran sebagai panduan manusia telah menunjukkan kaedah ini menerusi firman Allah taala, “Katakanlah wahai Ahli Kitab mari bersama kepada satu kalimat yang sama antara kami dan kamu untuk tidak menyembah melainkan kepada Allah dan tidak mensyirikkan-Nya….” Ali Imran 64. Jika Ahli Kitab diajak untuk berpegang pada satu hakikat kebenaran yang tidak boleh dinafikan iaitu mentauhidkan Allah, maka umat Islam sendiri perlu mencari titik persamaan agar perbalahan dan persengketaan dapat dielakkan. Sebenarnya yang menjadi bahan perselisihan antara pengikut mazhab Salaf dan Asy`irah adalah isu-isu cabang yang tidak menjadikan seseorang yang tersilap itu terkeluar dari Islam contohnya pengertian ayat-ayat mutasyabihat dan isu bertawasul dengan yang telah mati. Dalam isu seperti ini telah ada prinsip panduannya, iaitu seorang alim yang mempunyai kemampuan berijtihad, apabila berusaha untuk mendapatkan keputusan yang terbaik, tetap mendapat pahala walaupun dia tersilap, sebagaimana sabda Nabi yang bermaksud, “Jika seorang Hakim melakukan ijtihad lalu dia menepati kebenaran, maka dia dapat dua pahala. Jika dia salah, dia dapat satu pahala.” Riwayat Al-Bukhari Golongan yang mendakwa menuruti aliran Salaf, tidak layak, malah tidak ada kuasa untuk menjatuhkan hukum syirik atau terkeluar dari Islam ke atas saudara-saudaranya yang tidak sealiran dengan mereka seperti Asya`irah. Menghukum seseorang sebagai kafir atau musyrik secara tidak benar adalah satu dosa yang besar. Begitu juga dengan tuduhan ahli bid`ah. Syeikh Hatim Al-`Auni, seorang ahli hadis kontemporari di Mekah berkata, “Asya`irah adalah seperti sebuah istana bagi Ahlis Sunnah” Begitu juga pendakwah terkenal di Timur Tengah, Syeikh Muhammad Hassan mengatakan bahawa Asya`irah adalah termasuk dalam golongan Ahlis Sunnah. Syeikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi juga mempertahankan Asya`irah sebagai salah satu dari kumpulan Ahlis Sunnah Wal Jamaah. Ulama terdahulu juga telah menjelaskan kedudukan Asya`irah sebagai Ahlis Sunnah. Imam Al-Zahabi di dalam kitabnya Siyar Al-A`lam berkata, “Abu Musa Al-Asy’ari berada di atas pegangan akidah Ahlis Sunnah Wal Jamaah.” Demikian juga pendapat ulama lain seperti Qadhi `Iyadh di dalam kitab Tartib Al-Madarik, Imam Ibn `Asakir dan Al-Subki. Mereka bahkan berpendapat imam Abu Hasan Al-Asy`ari termasuk dari kalangan Salaf dan imam Ahli Hadis. Golongan yang selesa dengan aliran Asya’irah pula tidak boleh menolak aliran Salaf sebagai Ahlis Sunnah kerana mereka juga mengamalkan Islam berpandukan nas Al-Quran, Hadis dan fahaman para sahabat Nabi yang memang diakui semua sebagai sumber agama. Imam Ibn Al-Jauzi, seorang tokoh ulama beraliran Asya`irah menyebut di dalam kitabnya Talbis Iblis bahawa yang dinamakan sebagai Ahlis Sunnah itu adalah mereka yang mengikuti kebenaran dan ahli bid`ah pula yang mengikuti kesesatan. Selanjutnya beliau menukil kata-kata Ali Al-Madini yang mengakui golongan Ahli Hadis sebagai Ahlis Sunnah. Syeikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, sebagai contoh, seorang yang mendukung dan berpegang dengan mazhab Asya`irah juga mengakui mazhab Salaf sebagai Ahlis Sunnah dan berpegang bahawa pendapat mereka dalam soal ayat-ayat mutasyabihat lebih selamat. Seorang ulama Al-Azhar kontemporari bernama Muhammad bin Abdul Malik Al-Zughbi turut menjelaskan bahawa tiada masalah atau pertikaian antara umat Islam terdahulu di kurun-kurun yang pertama Islam mengenai sifat-sifat Allah. Tercetusnya masalah dalam lingkungan Ahli Sunnah pada awal kurun ketiga Hijrah dan ia berkisar hanya pada perkara-perkara ijtihad dalam pentakwilan sifat-sifat Allah. Kesimpulan dasarnya di sisi semua ulama mengenai pegangan Ahlis Sunnah ialah fahaman yang kembali kepada sumber asal iaitu Al-Quran dan Sunnah serta amalan para sahabat dan tabi`in dan mereka juga tidak berselisih mengenai fakta bahawa akidah yang dipegang dan diamalkan umat Islam pada kurun pertama Islam adalah benar kerana bersumber pada Al-Quran dan Sunnah. Walaupun istilah Ahlis Sunnah belum digunapakai pada ketika itu, tetapi tiada khilaf dari kalangan ulama yang datang kemudian untuk menerima pendapat yang dipegang oleh mereka di zaman itu mengenai tidak mentakwil sifat-sifat Allah sebagai pendapat yang sah Ahlis Sunnah. Bahkan pendapat ini mendahului pendapat golongan Asya`irah dalam Ahlis Sunnah seperti yang dinyatakan sebelum ini. Aliran-aliran kefahaman atau mazhab boleh dianggap seperti madrasah atau sekolah. Masing-masing mempunyai kekuatan kurikulum yang tersendiri. Pasti juga ada sudut-sudut kelemahan yang perlu diperbaiki. Matlamat utama bagi semua adalah melahirkan anak-anak murid yang baik akhlaknya, cerdas pemikirannya dan bersikap profesional dalam menguruskan diri dan sekitaran apabila melangkah ke medan kehidupan. Adalah satu perkara yang biasa bagi pelajar-pelajar dari setiap institusi pengajian untuk merasa bangga dengan tempat pengajiannya, tetapi bukanlah satu kewajaran, malah ia satu keaiban untuk menuduh institusi lain dengan tuduhan kesat dan sesat. Para ulama Salaf dan Asya`irah dari dahulu hingga sekarang telah bersepakat mengenai tanzih mensucikan Allah dari segala persamaan dengan makhluk dan segala sifat-sifat kekurangan. Malah terdapat banyak persamaan dalam persoalan akidah antara aliran Salaf dan Asya’irah, iaitu; kededua pihak jelas mensucikan Allah taala daripada menyerupai makhluk. kededua pihak meyakini bahawa maksud sebenar ayat mutasyabihat bukanlah maksud zahirnya yang menyerupai makhluk. kedua-dua pihak mengetahui lafaz yang digunakan dalam ayat-ayat itu adalah lafaz yang difahami oleh manusia dan dapat dirasai oleh pancaindera. Walaupun bahasa Arab luas, tetapi ia tidak merangkumi semua hakikat ilmu. Hakikat Allah tidak mampu diterangkan oleh keterbatasan bahasa itu. Bahasa adalah sesuatu yang terhad kerana ia difahami dari sudut makna lafaz sahaja. Menentukan makna hanya dari sudut lafaz sahaja tidak memberi erti yang tepat. Kededua sepakat pada keharusan takwil. Perselisihan hanya pada keperluan menentukan makna takwil yang diperlukan bagi menjaga akidah masyarakat umum daripada menyamakan Allah taala dengan makhluk. Syeikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi berkata, “Perselisihan seperti itu tidak perlu dirumitkan dan diperbesarkan.” Dalam isu menghuraikan maksud sifat Allah yang tertentu, ada yang membiarkannya tanpa takwilan apa-apa, iaitu menyerahkan maksudnya secara total kepada Allah. Mereka itulah golongan yang menuruti aliran Salaf. Ada pula yang mentakwil untuk memberi kefahaman betul kepada masyarakat awam tentang sifat Allah yang tidak sama dengan makhluk. Imam Ibn Kathir merupakan contoh terbaik dalam hal ini. Adakalanya beliau menggunakan kaedah takwil dan adakalanya tidak. Sebagai contoh, ketika mentafsirkan ayat istiwa’, beliau berkata, “Manusia mempunyai pelbagai pandangan tentang perkara ini. Saya Ibn Kathir mengikut pandangan Salaf dalam ayat ini, antaranya seperti Imam Malik, Al-Auza`i, Al-Thauri, Al-Laith bin Sa`ad, Al-Syafi`i, Ahmad, Ishak bin Rahawaih dan yang lain dari kalangan para imam dahulu dan sekarang. Mereka mengambil pandangan bagi membiarkan nas itu sebagaimana zahir tanpa disebut bagaimana dan tidak menyerupakan dengan sifat makhluk, serta tidak menafikan nas-nas itu.” Tetapi pada ayat-ayat sifat yang lain, beliau mengambil kaedah pentakwilan pada ayat-ayat mengenai sifat tangan. Syeikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi berkata bahawa kaedah takwil juga digunakan oleh golongan Salaf jikalau takwilan itu hampir kepada nas Al-Quran dan tidak terkeluar jauh dari maksud yang sebenar. Ini dilakukan oleh imam Ibn Kathir seperti contoh di atas dan juga imam Al-Baihaqi, Al-Nawawi, Ibn Hajar dan ramai lagi. Syeikh Muhammad Al-Hasan Al-Syinqiti, seorang alim dari Mauritania berkata, “Harus berlaku kesilapan pada golongan Asya`irah, Maturidiah, Hanbali, Salafiah.. dan mereka semua tidak boleh dikafirkan oleh kesilapan-kesilapan tersebut.” Dalam konteks dunia Nusantara, Dr Abdol Rauh Yacob, seorang pensyarah di Universiti Islam Sultan Sharif Ali, Brunei dan juga ahli sejarah Islam dan Tanah Melayu berkata, “Dunia Melayu tidak terlepas dari jaringan ummah antarabangsa. Walau apa pun, pelbagai bentuk tasawwur yang wujud di dunia Melayu seperti akidah Asya’irah ataupun sufi Imam al-Ghazali, ijtihad Ibn Taimiyah, Salafi Wahabi ataupun dinamika Afghani, Salafi Abduh, Haraki al-Banna, namun sikap kita tidaklah harus sangsi atas kepelbagaian tasawwur dan ittijah di atas. Ini kerana tokoh-tokoh ini ialah tokoh yang berkaliber mampu menggarap persoalan umat Islam dan menyediakan formula bagi mengembalikan semula kemurniaan dan keaslian agama Islam sekaligus mengangkat kemuliaan dan keagungan Islam berdasarkan kepada sumber al-Quran dan al-Sunnah. Maka adalah tidak tepat sekiranya kita cuba membezakan antara gerakan di atas apatah lagi meminggir dan menafikan peranan mereka. Islam di Tanah Melayu Abad ke 19, 2007. Habib Ahmad Zein Alkaff, seorang tokoh ulama di Jawa Timur pula berkata, “Wahabi sama-sama Ahli Sunnah. Kalau Wahabi, kitab rujukannya sama, rukun Iman dan Islamnya sama.” Kesimpulan Jika dinilai dengan hati yang bersih dan minda yang jelas, isu perbezaan ini sebenarnya tidak mengeluarkan mana-mana pihak pun dari lingkaran Islam. Ia hanya berkisar tentang isu cabang. Jika itulah hakikat keadaannya, maka amat tidak berbaloi bagi umat Islam saling berbalah sehingga ada yang memberi gelaran tertentu yang negatif terhadap pihak lain dan ada pula sampai menjatuhkan hukum kafir atau bid’ah terhadap temannya sedangkan mereka solat bersama, puasa di bulan yang sama, pergi haji ke tempat yang sama dan banyak melakukan perkara-perkara lain bersama-sama. Mengapakah tidak mengambil jalan yang adil lagi berhikmah dalam mengendalikan isu agama dengan hubungan sesama insan? Umat Islam sering diingatkan dengan firman Allah taala, “Dan berpeganglah kamu semua pada tali Allah dan jangan berpecah belah..” Ali Imran 16. Seterusnya Nabi Muhammad juga pernah mengingatkan umatnya dengan sabdanya, “Telah menular dikalangan kamu penyakit umat terdahulu iaitu penyakit hasad dan benci sesama kamu, dan ia adalah pemotong. Aku tidak bermaksud memotong rambut tetapi memotong agama. Dan demi jiwaku di dalam genggamanNya, kamu semua tidak akan masuk syurga sehingga kamu beriman, dan kamu tidak akan beriman sehingga kamu berkasih sayang. Mahukah kamu aku tunjukkan cara mengukuhkan sifat itu dalam diri kamu? Sebarkanlah salam sesama kamu.” Riwayat Al-Tirmizi, Ahmad, Al-Baihaqi & Al-Bukhari di dalam Adab Al-Mufrad. Marilah sama-sama rapatkan perhubungan sesama insan sepertimana rapatnya saf di dalam solat berjemaah. Renggangnya saf di dalam solat akan menyebabkan syaitan mencelah, begitu jugalah boleh terjadi di luar solat, jika renggang hubungan maka mudahlah syaitan mencelah untuk menyuntik semangat permusuhan. Perbuatan melontar tuduhan terhadap saudara sesama Islam oleh golongan Salafi dan Asya`irah hendaklah dihentikan oleh kededua pihak dan kembali kepada tradisi ulama silam yang berbincang secara ilmiyah, lapang dada dan matang. Nota Hakcipta penerbitan artikel ini dimiliki oleh Pergas. Tidak dibenarkan mengulang cetak artikel ini di mana-mana wadah penerbitan lain dan dalam bentuk apa jua bentuk tanpa izin dari Pergas. Namun, keizinan diberikan untuk mengongsi artikel ini melalui alamat url yang asal. Segala pendapat yang yang dikemukakan oleh para penulis artikel adalah milik penulis dan tidak mewakili pendirian rasmi Pergas, kecuali jika dinyatakan sedemikian secara tersurat oleh Pergas. Rujukan Yusuf Al-Qaradhawi. Merungkai pertelingkahan isu akidah antara salaf dan khalaf. Batu Caves Selangor PTS Islamika Sdn. Bhd., 2014. Muhammad Ba Karim Muhammad Ba Abdullah. Wasatiyyah Ahl Al-Sunnah Bayn Al-Firaq. Riyadh Dar Al-Rayah, 1994. Hibat Allah bin Al-Hasan Al-Tabari Al-Lalakaa’i. Syarh Usul I`tiqad Ahl Al-Sunnah Wa Al-Jama`ah. Iskandariyyah, Misr Maktabah Dar Al-Basirah, 2001. Abu Fida’ Ibn Kathir Al-Dimasyqi. Tabaqat Fuqaha’ Al-Syafi`iyyin. Misr Maktabah Al-Thaqafah Al-`Ilmiyah, 1993. Ilmiy Husain Muhammad Al-Misri. Taudhih Al-Tauhid. Maktabah Al-Jami`ah Al-Azhariah, 1972. Sayid Sabiq. Terj. M. Abdai Rathomy. Akidah Islam Pola Hidup Manusia Beriman. Singapura Pustaka Nasional, 1991. Ibn Al-Jauzi. Talbis Iblis. Bay Dar Al-Qalam, 1403H. Farid Mat Zain peny. Islam di Tanah Melayu Abad ke 19. Shah Alam Karisma Publications, 2007. PERBANDINGAN ISU SEMASA KEHIDUPAN MUSLIM MASYARAKAT ISLAM DAN IDEOLOGI AKIDAH FAHAMAN
Perludiketahui penggunaan istilah "Ahlussunnah wal Jama'ah", tidak pernah mencapai kata sepakat dalam menggambarkan suatu aliran kalam tertentu.Dikarenakan ada banyak golongan yang turut ikut serta dalam mengklaim aliran mereka sendiri sebagai Ahlussunnah wal Jama'ah.Oleh sebab itu, penulis juga akan menjelaskan asal-muasal penggunaan istilah Ahlussunnah wal Jama'ah dan bagaimana
BEDA SALAF DENGAN SALAFI SEBUAH MAKAR UNTUK MENJATUHKAN MANHAJ SALAFIOleh Abu Ahmad As-SalafiTAQDIM Di antara karakateristik ahli bid’ah dari masa ke masa bahwasanya mereka selalu mencela dan mencoreng citra Ahli Sunnah wa Jama’ah untuk menjatuhkan umat dari al-haq. Al-Imam Abu Hatim Ar-Razi berkata “Ciri ahli bid’ah adalah mencela ahli atsar’ Ahlu Sunnah hlm. 24. Al-Imam Abu Utsman Ash-Shobuni rahimahullah berkata “Tanda yang paling jelas dari ahli bid’ah adalah kerasnya permusuhan mereka kepada pembawa sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, mereka melecehkan dan menghina ahli Sunnah dan menamakan ahli Sunnah dengan Hasyawiyah, Jahalah, Dhohiriyyah, dan Musyabbihah” [Aqidah Salaf Ashabul Hadits, hlm. 116]Diantara deretan buku-buku “hitam” yang mencela Salafiyyin dan Dakwah Salafiyyah adalah buku Beda Salaf dengan Salafi yang beredar baru-baru ini di tanah air, buku ini sarat dengan syubhat-syubhat yang sangat menunaikan kewajiban kami dalam nasehat kepada kaum muslimin dan membela dakwah yang haq maka dengan memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan kami paparkan studi kritis terhadap buku ini agar menjadi kewaspadaan dan peringatan bagi kita DAN PENERBIT BUKU Judul asli buku ini adalah Kasyful Haqa’iq Al-Khafiyyah Inda Mudda’is Salafiyyah, ditulis oleh Mu’tab bin Suryan Al-Ashimi, diterjemahkan oleh Wahyuddin dan Abu Ja’far Al-Indunisy, dan diterbitkan oleh Media Islamika Solo cetakan pertama Agustus 2007Sebagai catatan bahwa terjemahan dari kitab asli buku ini hanya sampai hlm. 88, adapun hlm. 89-223 adalah tambahan dari KERAGUAN “MANHAJ TASHNIF” Tashnifunnas klasifikasi manusia yaitu menisbahkan pelaku bid’ah kepada kebid’ahannya, menisbahkan pendusta kepada kedustaannya, dan menisbahkan seorang yang dijarh kepada jarhnya sebagaimana di dalam kitab-kitab jarh wa ta’ telah menyebarkan keragu-raguan terhadap manhaj tashnif ini dengan menyebutnya sebagai tugas iblis!! hlm. 45, dan dia sebut sebagai fitnah!! tashnif ini adalah haq tidak ada keraguan di dalamnya, Ahli Sunnah wal Jama’ah telah sepakat atas shahihnya penisbatan orang yang dikenal dengan suatu kebid’ahan kepada bid’ahnya sebagaimana diketahui oleh setiap orang yang mau menelaah kitab-kitab salaf. Barangsiapa yang dikenal dengan bid’ah Qodar maka dia dikatakan Qodari, barangsiapa yang dikenal dengan bid’ah Khowarij maka dia dikatakan Khoriji, barangsiapa yang dikenal dengna bid’ah Irja’ maka dia dikatakan Murji’, barangsiapa yang dikenal dengan bid’ah Rofdh maka dia dikatakan Rofidhi, dan ini juga terdapat dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam seperti penisbahan kelompok pengingkar takdir kepada bid’ah mereka sebagaimana dalam sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.“Qodariyyah adalah Majusinya umat ini, jika mereka sakit maka janganlah kalian menjenguk mereka, dan jika mereka mati maka janganlah kalian melawat mereka’ [Diriwaytkan Abu Dawud dalam Sunannya 4/222 dan dihasankan Syaikh Al-Albany dalam Shahihul Jami’ 4442]Demikian juga kelompok Khowarij yang diisyaratkan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam di dalam hadits-hadits yang banyak sekali yang mencapai derajat ini juga terdapat di dalam perkataan para Salafush Shalih dari kalangan sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan para imam, seperti riwayat dari Abu Umamah bahwasanya dia menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka” [Al-An’am 159]Dia tafsirkan abahwa mereka adalah Khowarij. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/197]Abdullah bin Abi Aufa –salah seorang sahabat- berkata “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melaknat Azariqoh! Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melaknat Azariqoh! Sungguh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kami bahwa mereka adalah anjing-anjing neraka”. Berktalah perawi darinya “Azariqoh saja atau Khowarij semuanya?” Dia berkata “Bahkan Khowarij semuanya” [Diriwayatkan oleh Ahmad di dalam Musnadnya dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah di dalam Dhilalul Jannah fi Takhrijis Sunnah]Al-Imam Sufyan bin Uyainah berkata tentang Ismail bin Humaid “Dia adalah Baihasi”. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata “Baihasiyyah adalah nama sebuah kelompok Khowarij dari kelompok Shofariyyah yang memandang wajibnya memberontak kepada para pemimpin yang curang” [Lihat Tahdzibut Tahdzib 1/305]Al-Imam Abu Dawud berkata tentang Ishaq bin Robi’”Dia adalah Qodari’ [Lihat Tahdzibut Tahdzib 1/203]Maka tashnifunnaas adalah hal yang disepakti oleh umat ini dan bukanlah perkara yang PENULIS Penulis begitu sinis terhadap manhaj tashnif tetapi dia sendiri memakainya, di dalam hlm. 71-72 dari bukunya ini dia klasifikasi lawan-lawannya menjadi 6 kelompok 1. Al-Hasadah orang-orang yang hasad, 2, Al-Qo’adah[1] orang-orang yang tidak memiliki peran di dalam dakwah, 3. Al-Murtaziqoh para pencari kesenangan pribadi, 4. Al-Muqallidun orang-orang yang taklid, 5. Al-Makhdu’un orang-orang yang terpedaya, dan 6. An-Naqimun para pembalas dendam!Kami katakan ”Duhai alangkah miripnya hari ini dengan kemarin, dahulu Muhammad Surur membagi lawan-lawannya menjadi 6 tingkatan penghambaan 1 George Bush presiden Amerika. 2. Para penguasa di negeri-negeri Arab. 3. Para pembantu penguasa negeri-ngeri Arab dari para menteri, para penasehat, dan yang lainnya. 4, 5,dan 6 adalah para pejabat tinggi di kementrian. Kemudian dia katakan bahwa para ulama Saudi seperti Syaikh Bin Baz rahimahullah, Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah dan Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidhahullah sebagai budak-budak budaknya budak dan majikan mereka adalah orang Nasrani!!! [Majalah As-Sunnah Al-Britaniyyah, edisi 26 Jumada Ula 1413H, hlm. 2-3]“Hati mereka serupa . sesungguhnya kami telah menjelaskan tanda-tanda kakuasaan Kami kepada kaum yang yakin” [Al-Baqarah 118]Dan lihatlah bagaimana teman-teman Muhammad Surur dari kelompok Quthbiyyin membagi para ulama menjadi ulama yang faham waqi’ dan ulama yang tidak fawah waqi’, mereka merendahkan dan melecehkan para ulama Salafiyyin dengan mengatakan bahwa mereka bukanlah rujukan kaum muslimin karena mereka tidak faham waqi’ realita sebagaimana dikatakan oleh Salman dalam Majalah Al-Ishlah Emirat Arab edisi 223 28/1, dan Abdurrahman Abdul Khaliq dalam kitabnya Khuthuth Roisiyah Liba’tsil Ummah Islamiyyah hlm. 73-78 Lihat Madarikun Nazhar hlm. 271 dan Jama’ah Wahidah hlm. 40. Di sisi lain mereka membagi ulama menjadi ulama sulthon ulama penguasa dan sulthonul ulama yaitu kelompok mereka sebagaimana dikatakan oleh Aidh Al-Qorni di dalam Qoshidahnya yang berjudul Da’il Hawasyi Wakhruj tinggalkanlah para antek penguasa dan keluarlah!Maka kami katakan bahwa penulis bersikap plin-plan dalam menyikapi tashnif, jika tashnif dirasa merugikannya maka dia tolak, dan jika dirasakan menguntungkannya maka dia pakai. Hal seperti inilah yang dilakukan oleh para ahli bid’ah dan pengekor hawa nafsu, mereka mengklasifikasi manusia semau mereka sesuai dengan hawa nafsu mereka, mereka mengklasifikasi para ulama menjadi ulama politik dan ulama haidh dan nifas!. Di sisi lain tatkala para ulama sunnah mentashnif mengklasifikasi para gembong mereka kepada masing-masing kebid’ahan mereka maka dengan serentak mereka marah dan membabi buta, mereka sebarkan keragu-raguan kepada umat tentang masalah tashnif yang haq dengan maksud untuk melindungi nama dan kedudukan gembong-gembong KEBENCIAN TERHADAP ISTILAH SALAFI DAN SALAFIYYAH Penulis begitu getol di dalam menyebarkan kebencian terhadap nisbah salafi dan salafiyyah, dia katakan bahwa nisbah as-salafi atau al-atsari sebagai suatu kesombongan! hlm. 42. Bahkan dia buat manusia ngeri memakai istilah salafi dengan dia katakan bahwa para pengaku salafi adalah pelaku kejahatan! tidak ada yang lebih membanggakan seorang muslim dari menisbahkan diri kepada salaf, lafadz salafiyyah atau salafi tidaklah digunakan oleh para ulama Ahli Sunnah kecuali dalam kebaikan, lihatlah dalam kitab-kitab para ulama terutama dalam kitab-kitab biografi mereka tidaklah menyebut salaf atau salafi melainkan sebagai pujian, begitu sering para ulama menyebutkan biografi seseorang dan menyebutkan di antara manaqibnya adalah karena dia berjalan diatas manhaj Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata “Tidak ada cela bagi orang yang menampakkan madzhab salaf, menisbahkan diri kepadanya, dan membanggakannya, bahkan wajib diterima semua itu darinya dengan kesepakatan ulama. Karena sesungguhnya madzhab salaf adalah haq, jika dia sesuai dengan salaf secara lahir dan batin, maka dia seperti seorang mukmin yang di atas kebenaran secara lahir dan batin” [Majmu Fatawa 4/149]Al-Hafidz Adz-Dzahabi rahimahullah sering menyebutkan nisbah kepada salaf as-salafi ketika menyebutkan biografi para ulama.a Ketika menyebutkan biografi Ya’qub bin Sufyan Al-Fasawi dalam Siyar A’lamin Nubala 13/183 berkata “Aku tidaklah mengetahui Ya’qub Al-Fasawi kecuali seorang salafi”b. Ketika menyebutkan biografi Muhammad bin Muhammad Al-Bahrani beliau berkata “Dia adalah seorang yang beragama, baik, dan seorang salafi” [Mu’jam Syuyuh 843]c. Ketika menyebutkan biografi Al-Imam Daruquthni beliau mengatakan ”Dia tidak pernah masuk sama sekali dalam ilmu kalam dan jadal, bahkan dia adalah seorang salafi’ [Siyar 16/457]d Ketika menyebutkan biografi Abu Thohir As-Silafi beliau mengatakan ”As-Silafi diambil dari kata As-Salafi yaitu yang berjalan di atas madzhab salaf” [Siyar 21/6]e. Ketika menyebutkan biografi Al-Hafidzh Ibnu Sholah rahimahullah beliau mengatakan “Dia adalah seorang salafi, bagus aqidahnya ..” [Tadzkirotul Huffadz 4/1431]Dan merupakan hal yang dimaklumi bahwa kelompok-kelompok bid’ah sangat menjauhi intisab kepada salaf, sampai-sampai kelompok yang mengaku beraqidah salaf pun juga menjauhi dan menghindari penisbatan kepada salaf, inilah syi’ar ahli bid’ah dari masa ke masa sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah “Syi’ar ahli bid’ah adalah tidak mau ittiba’ kepada salaf” [Majmu Fatawa 4/100]Kelompok-kelompok bid’ah ini mengetahui bahwasanya dengan meninggalkan intisab kepada salaf maka mereka dengan leluasa menghukumi segala sesuatu dengan akal mereka, perasaan mereka dan eksperimen-eksperimen mereka!Inilah realita yang menujukkan keagungan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala, agar nampak jelas dakwah yang haq dari setiap kebatilan yang hendak menyerupainya, dan agar dakwah yang haq murni dari segala macam kotoran hendak OPINI BAHWA PARA ULAMA MEMBENCI NISBAH SALAFI DAN SALAFIYYAH Penulis banyak menukil perkataan para ulama yang mengesankan bahwa para ulama tersebut tidak suka kepada nisbah As-Salafi, Al-Atsari, As-Salafiyyah dan yang semisalnya. Nukilan-nukilan ini harus dicek ulang karena kedustaan adalah ciri khas dari setiap ahli bid’ah, Al-Imam Ali bin Harb Al-Maushili berkata ”Setiap ahli hawa pengekor hawa nafsu selalu berdusta dan tidak peduli dengan kedustaannya!” Diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Al-Kifayah hlm. 123 Di antara nama-nama yang dicatut oleh penulis dari para ulama adalah Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah, dan Syaikh Shalih Al-FauzanPadahal kenyataan yang sebenarnya bahwa para ulama yang disebut nama-namanya di atas selalu mengajak manusia agar ittiba’ kepada manhaj salafi sebagaimana di dalam nukilan-nukilan berikut Ibnu Baz pernah ditanya ”Apa yang engkau katakan terhadap orang yang memberi nama dengan As-Salafi dan Al-Atsari, apakah hal itu termasuk tazkiyah?” Beliau rahimahullah menjawab ”Kalau memang benar dia Atsari menapaki atsar pendahulunya atau Salafi mengikuti pemahaman Salaf As-Shalih maka tidak mengapa, semisal apa yang dikatakan para salaf, mereka mengatakan Fulan Salafi, Fulan Atsari’, ini adalah sebuah tazkiyah yang seharusnya, tazkiyah yang wajib’ [Muhadhoroh dengan tema Haq Al-Muslim tgl. 16/1/1423H di Thoif]Berkata Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidhahullah ”Penamaan dengan As-Salafiyah apabila memang benar maka tidak mengapa, namun apabila cuma sekedar pengakuan belaka, maka tidak boleh menamakan dengan As-Salafiyyah karena ia tidak berada pada manhaj Salaf” [Al-Ajwibah Mufidah. 15]Telah datang suatu pertanyaan kepada Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidhahullah yang berbunyi ”Apakah salafiyyah adalah suatu hizb kelompok dan apakah menisbahkan diri kepadanya adalah hal yang tercela?” Maka beliau menjawab ”Salafiyah adalah Firqotun Najiah kelompok yang selamat mereka adalah Ahli Sunnah wal Jama’ah, bukan suatu hizb yang dinamakan sekarang sebagai kelompok-kelompok atau partai-partai, sesungguhnya dia adalah suatu jama’ah, jama’ah yang berjalan di atas sunnah.. maka Salafiyyah adalah jama’ah yang berjalan di atas madzhab Salaf dan di atas jalan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya, dan dia bukanlah salah satu kelompok dari kelompok-kelompok yang muncul sekarang ini, karena dia adalah jama’ah yang terdahulu dari zaman Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan terus berlanjut terus menerus di atas kebenaran dan nampak hingga hari Kiamat sebagaimana diberitakan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam” [Dari kaset yang berjudul At-Tahdzir Minal Bida’]Dan termasuk mereka juga para ulama yang membolehkan penisbahan tersebut Syaikh Al-Fadzil Ali bin Nasir Faqihi di dalam kitabnya Al-Fath Al-Mubin Bir –Rod Ala Naqd Abdillah Al-Ghumari Likitabil Arbain” [Lihat Kun Salafiyan Alal Jaddah 44]MENCOMOT FATWA-FATWA ULAMA YANG SEJALAN DENGAN KEPENTINGAN MEREKA Diakhir buku penerbit menambahkan lampiran-lampiran buku mereka ini yang dua kali lipat dibandingkan dengan buku aslinya, di antara lampiran-lampiran tersebut terdapat Fatwa Lajnah Daimah yang mengkritik sebagian tulisan dari Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi, yang pada hari-hari ini Hizbiyyun begitu semangat di dalam para hizbiyyun ini sangat mengherankan sekali, karena sepanjang sejarah perjalanan mereka baru kali ini mereka begitu antusias untuk menukil sebuah fatwa dari para ulama Saudi Arabia. Tempo hari mereka menuding para ulama Saudi hanyalah ulama haid dan nifas, tidak paham realita, antek-antek CIA, ulama penguasa, dan sederet tuduhan-tuduhan keji yang lainnya!. Kemudian hari ini dengan serempak mereka menukil sebuah fatwa dari para ulama Saudi Arabia dan menyebarluaskannya?!Sehubungan dengan Fatwa Lajnah Daimah ini kami nukilkan tanggapan dari Syaikh Dr Husain bin Abdul Aziz Alu Syaikh –Imam Masjid Nabawi dan Qadhi di Pengadilan Tinggi Madinah Nabawiyyah- di dalam ceramah beliau yang berjudul Ala Thoriqi Sunnah pada tanggal 5 Rabi’ul Awwal 1422H “Yang kami yakini dan yang kami pertanggung jawabkan dihadapan Allah bahwasanya Syaikh Ali hafidhahullah dan gurunya –Syaikh Al-Albani rahimahullah- paling jauh di antara manusia dari madzhab Murji’ah –sebagaimana telah kami katakan sebelumnya. Syaikh Ali –demikian juga Syaikh Al-Albani rahimahullah- -jika dikatakan kepadanya Apakah defenisi iman? Tidak akan kita dapati dalam ucapannya perkataan Murji’ah yang mengatakan bahwa amalan tidak masuk dalam keimanan. Bahkan nash-nash Syaikh Al-Albani rahimahullah menashkan bahwa defenisi iman adalah ”Keyakinan dengan hati, perkataan dengan lisan, dan amalan dengan anggota tubuh, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan” [Lihat Tanbihat Mutawaimah hal. 553-557]PENUTUP Inilah di antara hal-hal yang bisa kami paparkan dari sebagian bantahan terhadap syubhat-syubhat buku ini, yang intinya bahwa buku ini hendak menjatuhkan manhaj tashnif untuk mengaburkan antara ahli Sunnah dan ahli bid’ah dan sekaligus menjauhkan manusia dari manhaj Salafush Shalih. Semoga Alah Subhanahu wa Ta’ala selalu meneguhkan kita di atas sunnah dan menjauhkan kita dari semua kebid’ahan. Amin[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 8, Th. Ke-7 1429/2008. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim] _______ Footnote [1]. Di dalam terjemahnya tertulis Al-Uqdah, ini adalah kekeliruan dari penerjemah PERBEDAAANASWAJA VS WAHABI SALAFI. Penulis dan analisis Oleh : Von Edison Alouisci ke 72 bahasan perbedaan dan itu akan terus bertambah. jadi, akan terasa panjang.. jika dimuat semuanya. tidak layak digelar sebagai Ahlussunnah wal jamaah Rujukannya : Kitabnya: Min Masyahir Almujaddidin Fil Islam,m/s: 32, terbitan:Riasah
Pertanyaan السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته Ana mau tanya, apa perbedaan dan persamaan WAHABI dan AHLU SUNNAH WAL JAMAAH? Ana mengikuti kajian ini dicap sebagai aliran wahabi yang sekarang katanya berganti nama jadi ahlu sunnah wajamaah. Ana belum faham karena ana juga masih dalam taraf belajar. Syukron. Dari Yanti Di Bogor Anggota Grup BIAS T05 G-32. Jawaban وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته Julukan Wahabi di zaman ini, di hari ini, akhir-akhir ini sering kali dilontarkan kepada ahlus sunnah wal jama’ah agar kaum muslimin lari menjauh dari dakwah ahlis sunnah. Julukan Wahabi ini aslinya dahulu adalah julukan untuk para pengaikut Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum yang terkenal bengis dan kejam. Namun karena ketidak sukaan beberapa orang pada gerakan pemurnian Islam, ia lantas disematkan kepada para pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang menebarkan dakwah ahlis sunnah wal jama’ah/dakwah Islam yang murni. Ahlus sunnah wal jama’ah yang diantara tokohnya adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, maknanya orang-orang yang senantiasa berpegang teguh terhadap sunnah dan ajaran Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam. Ketika mereka mengetahui ada larangan atau perintah dari Nabi shalallahu alaihi wa sallam mereka langsung tunduk dan patuh. Jadi Wahabi yang sesungguhnya adalah para pengikut ajaran Abdul Wahhab bin Rustum. Sedangkan ahlus sunnah wal jama’ah adalah para pengikut sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam yang di zaman ini diantara tokohnya adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Wallahu a’lam Konsultasi Bimbingan Islam Ustadz Abul Aswad Al Bayati Read Next November 7, 2022 Mengenal Para Salaf September 15, 2022 Bolehkah Memilih Pemimpin Asal-Asalan? September 13, 2022 Pemimpin Zalim Harus Dibuka Aibnya. Benarkah Pernyataan Itu? September 7, 2022 Tidak Tahu Melakukan Perbuatan Pembatal Keislaman, Auto Kafir? June 29, 2022 Pemimpin Berbohong, Zalim Dan Tidak Adil, Wajib Taat? June 13, 2022 Sikap Muslim Terhadap Pemerintah/Pemimpin May 23, 2022 Ini Dia Cara Mengetahui Manhaj Seseorang! May 16, 2022 Siapa Yang Berhak Menghukumi Ahlul Bid’ah? March 18, 2022 Mengaku Bermanhaj Salaf, Tapi Akhlaknya Kok March 4, 2022 Menyikapi Pemimpin yang Suka Ngibul
.
  • 46voo7ftob.pages.dev/602
  • 46voo7ftob.pages.dev/751
  • 46voo7ftob.pages.dev/3
  • 46voo7ftob.pages.dev/965
  • 46voo7ftob.pages.dev/704
  • 46voo7ftob.pages.dev/998
  • 46voo7ftob.pages.dev/271
  • 46voo7ftob.pages.dev/752
  • 46voo7ftob.pages.dev/413
  • 46voo7ftob.pages.dev/185
  • 46voo7ftob.pages.dev/872
  • 46voo7ftob.pages.dev/647
  • 46voo7ftob.pages.dev/574
  • 46voo7ftob.pages.dev/957
  • 46voo7ftob.pages.dev/511
  • perbedaan salafi dan ahlussunnah wal jamaah